Cerita
pendek ini adalah terjemahan bebas dari During the Dance
karya Mark Lawrence, ditulis dengan izin pengarangnya.
Ayah berhenti minum-minum di hari
adik perempuanku lahir. Beliau memanggilnya malaikat, dan bir tak lagi mendekatinya
sampai adikku meninggal. Ayah datang ke pemakaman sambil mabuk, menangis dan
meraung, cukup keras untuk dua orangtua, cukup lantang untuk menutupi diamnya
Mam. Pada akhirnya, orang-orang harus menahannya, atau beliau akan melompat ke
kuburan. Bakal terlihat cukup konyol, seorang pria dewasa masuk ke dalam lubang sempit itu. Aku membayangkannya, beliau terjepit terbalik di liang lahat,
kakinya bergerak di udara, dan tawa tahu-tahu menyerangku, begitu ganas sampai
tenggorokanku sakit.
“Sssttt, Nak.” Paman Jim memegang bahuku. “Diam, Sammy.”
“Tutup
mulutnya.” Kata Bibi Grace. Bulat, brutal, dan marah.
Aku
tak bisa berhenti, tentu saja. Histeria menangkapku, dan gelak memekik di
sekujur tubuh.
Ayah,
Mam, dan aku. Kami menjadi trio, dan dalam baju duka pinjaman kami, Ayah
mengutuk Tuhan yang telah mengambil putrinya, aku yang masih terbahak sampai
airmata menuruni pipiku, dan Mam bergerak sangat pelan akibat luka tak
kasatmata di dalam dirinya, tiap otot beradu satu sama lain, dan tak ada suara
keluar dari balik barisan giginya.
Me-me
datang ke dunia ini lima tahun setelah aku. Ia datang di karpet yang sama,
dalam ruangan yang sama. Kami hidup dalam kehidupan yang sama pula, tapi entah
bagaimana hidupnya lebih dalam dan manis. Mam memanggilnya Martha, diambil dari
nama depan Nenek Robbins, dan pendeta gereja St. Luke di Bethnal Green
memercikkan air suci padanya supaya Tuhan juga mengenali namanya. Kupikir itu
aneh, karena Tuhan tahu segalanya, dan karena tidak ada yang memanggil Martha
setelah itu.
Mam
menyebutnya sebuah berkah, serta belahan hatinya. Ayah memanggilnya malaikat.
Beliau akan menimang-nimangnya, jam demi jam, ketika batubara membakar rendah
perapian di hari pertama musim dingin. Beliau menjilati jarinya dan memelintir
rambut adikku menjadi spiral hitam di dahinya, dan ia tetawa lalu mencoba
meraih tangan beliau. Seiring berjalannya waktu adikku menamai dirinya sendiri,
dengan kata pertamanya. Me-me.
Aku
mengunjungi kamar itu lagi setelah kami menguburnya. Kamar tempat kami berempat
tidur, dan sekarang bertiga. Aku duduk di atas karpet, kelabu, berjejakkan pola berlian di atas kain empuk yang kusam. Kami berdua dilahirkan di sini, aku
merengek pada dunia, memberitahunya agar baik-baik padaku, kata Mam. Me-me lesu
dan sunyi sampai Ayah berseru lantang, apa dia mati? Oh Yesus! Tapi dia
terbatuk, dan membuka mata paling biru yang pernah ada.
Kupetik
segumpal karpet itu dan mencoba membayangkan bagaimana pola awalnya, dulu
sekali, dirajut, dijual dan terjual, terjual lagi, remuk menjadi debu di gang
sempit. Hancur. Apakah Me-me juga akan hancur? Ia hanyalah sebuah pola
sekarang. Sebentuk di dalam kepalaku. Sebuah penanda di sudut tempat hal-hal
kecil diletakkan. Peti putih yang tak mampu Ayah beli. Ia akan kedinginan di
sana, di bawah tanah liat London. Aku memikirkannya, sekarang ia sendirian,
dalam kotak gelap itu, dan airmata pun jatuh.
Me-me
berjalan seperti anak kecil, dan berbicara seperti anak kecil. Ia membawa
matahari bersamanya, ke dalam gang-gang di East End. Sebagai anak miskin kau
tidak pernah sadar kalau kau miskin, kampung kumuh adalah kampung kumuh. Itulah
rumah. Itulah yang semestinya. Jadi aku tidak pernah merasa miskin. Tapi Me-me
membuat kami merasa kaya. Ia senantiasa memberikan kami senyuman.
Seorang
kakak seharusnya menghibur adiknya dengan cerita-cerita, tapi di rumah kami
Me-me-lah yang mendongeng. Sejak ia bisa bicara, ia mengisahkan dunia yang tak
mampu kulihat. Kami duduk di tangga depan rumah, menonton anak-anak bertelanjang
kaki di jalan, dan penambang yang membawa karung batubara untuk siapa pun yang
mampu membayarnya. Kami menonton burung-burung yang terbang, di garis terang
langit antara atap-atap, kami menonton baju yang tengah dijemur, tapi
selebihnya, Me-me akan menonton para penari, dan aku akan mendengarkannya.
Ia
melihat para penari itu di mana-mana. Ia melihat mereka berdansa di ujung
pagar, sepanjang selokan tua, di antara tali-tali jemuran. Ia memanggil mereka
‘Penari’, tapi kemudian ‘Malaikat’ karena kata Mam itu lebih pantas jika ia tak
bisa berhenti membicarakannya. Ia sering melihat mereka sendirian, satu tarian
satu waktu. Ia melihat sesosok gadis bergaun putih, berdansa di tangga depan
rumah Mrs Jennings. Katanya gadis itu memiliki rambut serupa kaca, dan gaun yang
berkilauan seperti gula. Ia menari di situ selama satu jam sebelum gelap,
melompat dari satu tangga ke tangga yang lain, meskipun tangga itu lebih tinggi
darinya. Dan kami menonton, atau Me-me lebih tepatnya, menonton dan bertepuk
tangan, dan aku mendengarkannya, dan berusaha keras sampai terkadang berkhayal
melihat kilauan gaun Malaikat itu saat ia berputar.
Esoknya
seprai di jemuran Mrs Jennings bernoda merah, dan Mam bilang beliau baru saja memiliki
bayi perempuan yang lucu. Ayah memberitahuku tentang bangau dan semak gooseberry,
dan aku mengangguk dan berkata aku memercayainya. Namun aku tahu persis gadis
bergaun putih-lah yang sudah membawa Sarah Jennings ke rumah itu kemarin malam.
“Dari
mana asalnya para penari itu?” aku ingin tahu. “Dan kenapa mereka tidak
bicara?”
“Mereka
bicara, tahu.” Me-me merentangkan lengan mungilnya. “Mereka bicara seperti
ini.” Ia berputar, setengah-anggun, setengah-canggung, karena ia bahkan belum
empat tahun.
“Dari
mana mereka berasal?” aku bertanya.
Aku
memelankan suaraku karena Billy Evans baru saja datang dari ujung jalan. Ia
segera berusia sepuluh tahun. Ia kurus, tapi jadi terlihat tinggi, dan kejam.
Ia punya apel, dan perutku berbunyi begitu kulihat ia memakannya.
“Sebagian
datang dari para orang.” Kata Me-me. “Dan sebagian tidak.”
Billy
melewati kami. Ia tersenyum pada Me-me. Semua orang tersenyum padanya.
“Dari
orang-orang?” kucoba untuk membayangkannya.
“Dari
para orang.” Angguknya. “Waktu mereka membebaskannya.”
Aku
melirik ke arah Billy Evans, yang sedang berjalan telanjang kaki di pinggiran
lumpur. “Apa Billy Evans punya Penari juga?”
Ia
mengangguk.
“Seperti
apa Penarinya?” tanyaku.
“Sangat
sedih.” Ujar Me-me.
“Kalau
Penarimu seperti apa?”
“Dia
seperti pelangi.” Me-me tersenyum sangat lebar sampai lesung pipitnya tampak.
“Apa
aku juga punya Penari?” kutanya lagi.
Tapi
ia malah menoleh. “Liat!” ia bertepuk tangan.
Dan
aku melihat ke arahnya. “Apa?”
“Buanyak!”
ia bertepuk tangan lagi. “Penari-penari biru.”
Kami
menonton dan ia berbicara. Katanya mereka berlarian di sekeliling kami, cepat
dan serius. Katanya mereka berwarna macam-macam biru, juga hijau, dan betapa
mereka berdansa bersama dengan saling berputar, dan berputar.
Malam
itu Sungai Thames banjir hingga ke tepian, dan kami harus pindah ke lantai atas
sampai seminggu untuk menunggu Ayah membersihkan lumpur dari ruang tamu.
Kupikir
saat itu adalah minggu yang basah, dengan lumpur lengket yang bau, juga hujan
tak berkesudahan, yang membuat ia terbatuk. Batuk yang menyayat hatiku. Mam dan Ayah menjaganya selalu. Ayah senantiasa menggendongnya dan
memutarnya dalam tarian. “Hei Me-me, kita menari biar batuknya pergi? Malaikat
menari seperti ini, ya kan?” Dan ia terkikik serta mendorong beliau, “Bukan.”
Tapi ia lalu terbatuk lagi, batuk darah, dan permainan pun selesai.
Me-me
terkena demam, dan Ayah pergi memanggil dokter. Beliau bilang beliau akan
mencuri kalau terpaksa. Pada akhirnya beliau tidak mencuri, banyak tetangga
yang menyumbang untuk Me-me, satu penny dari sini, satu farthing dari
sana, satu shilling dari Mrs Jennings.
Dokter
pun datang, dan pergi. Seorang pria kecil dengan topi yang bakal kutertawakan,
kalau saja Me-me tidak sakit. Ia memberikan obat yang pahit, itu saja. Kami
berempat bergelung di kasur, dalam kegelapan, dan suara batuk, dan Mam menarik
napas tiap kali mendengarnya.
Pagi
harinya demam itu telah hilang, dan Me-me terbaring damai serta amat pucat.
Ayah bilang itu pertanda bagus. Beliau pergi untuk mencari pekerjaan di sekitar
dermaga, mungkin akan ada pemindahan barang, dan beliau dapat membelikan roti
dan lemak bacon untuk Me-me. “Tidak ada yang seampuh lemak bacon untuk
sakit dada.”
Mam
pergi untuk menjadi buruh cuci orang kaya di penatu. Dan aku duduk
bersama Me-me.
“Seperti
apa Penariku?” kini ini adalah sebuah permainan. Aku selalu bertanya dan ia
tak pernah menjawabnya.
Ia
menengok kepadaku, berat, seolah kepalanya terbuat dari batu. “Kamu harus
membebaskannya dulu, Sammy.”
“Caranya?”
Apakah ada sesuatu yang salah? Ia tidak bilang apa-apa.
“Kamu
harus membebaskannya. Sekarang, atau tidak sama sekali.” Ia seakan melihat
langsung ke dalam diriku. “Dia seperti sekeping penny baru. Tembaga, dan
sangat gesit. Sangat gesit.”
Aku
belum pernah setakut ini, bahkan ketika Ayah masih senang mabuk-mabukkan. “Ayo
kita main, Me-me. Aku bisa menggendongmu.”
Ia
memalingkan wajahnya.
“Oh!”
matanya membulat.
“Apa?”
“Aku
melihat penari baru. Dia cantik sekali.”
Kuedarkan
pandangan ke sekeliling. Aku selalu memandang dan tak pernah melihatnya. “Di
mana?”
“Dia
lagi di pinggir kasur, tahu. Dia sehitam batubara.” Me-me terkikik. “Dia tidak
pakai gaun.”
Ruangan
menjadi terasa beku dan aku tidak mau penari hitam itu berdansa di pinggir
kasur Me-me.
“Suruh
ia pergi.” Kataku.
“Oh,
tapi tariannya indah sekali, Sammy. Dia menari… sangat indah.” Ia baru empat
tahun, dan tak seharusnya ia punya kata-kata itu.
Kutatap
matanya. Begitu besar dan pekat.
“Suruh
ia pergi!” kulitku seolah dilapisi es.
Me-me
mengangkat tangannya yang putih dan berputar di depanku. Untuk sesaat aku
mendengar suara musik entah dari mana.
“Tidak!”
Kupegang lengannya. Namun ia telah pergi, dan yang kupegangi menjadi lemas dan
dingin.
Kampung
kumuh itu kini tiada. Berganti menjadi ruko dan pabrik. Hancur seperti pola di
karpet. Yang tersisa dari hari-hari lalu itu hanyalah Sarah Jennings, yang
kunikahi, karena senyumnya, kepintarannya, dan gadis bergaun putih yang
berdansa di depan rumahnya pada malam ia dilahirkan.
Kami
pergi ke pemakaman, Sarah, aku, dan si kembar, Samuel dan Robert, dan Martha
kecil dalam gendongan Sarah. Aku sudah memindahkan peti Me-me dari benaman
lumpur gereja St. Luke. Aku tidak melihatnya, tapi kusuruh orang untuk
melakukannya. Kau bisa menyuruh-nyuruh seperti itu kalau kau kaya.
Kupindahkan ia ke Highbury, di atas bukit dengan pemandangan menakjubkan,
dengan Mam di sebelah kiri dan Ayah di kanannya. Beliau pasti akan menyukainya.
Aku
juga memberinya nisan baru, dan karena aku tidak punya kata-kata yang tepat
untuknya, kutulis kata-kata dari Oscar Wilde, sebuah puisi yang dibuat untuk
adik perempuannya yang juga meninggal terlalu muda, walaupun adiknya berambut
pirang sedangkan Me-me berambut hitam.
All
her golden hair
Tarnished
with rust
She
that was young and fair
Fallen
to dust.
Peace,
peace, she cannot hear
Lyre
or sonnet,
All
my life is buried here,
Heap
earth upon it.
Sam
dan Robert menggenggam tanganku satu-satu. Mereka tidak suka melihatku sedih.
“Bagaimana
dia meninggal, Yah?” Tanya Sam.
Aku tidak menjawab. Aku tak bisa bicara.
Sarah
yang memberitahu. Aku sudah menceritakan semuanya.
“Saat
ia menari.”
Mereka meminta versi lebih panjangnya, namun Martha terlepas dari gendongan Sarah dan berlari ke arah makam. Ia berhenti di depan makam Me-me. Ia tertawa dan menunjuk-nunjuk.
“Orang-orang
menari, Ayah. Menari!”
“Siapa
yang menari, Sayang?” bisik Sarah lembut.
“Gadis
pelangi.” Ia bertepuk tangan. “Dan pemuda tembaga. Dan mereka tertawa.”
No comments:
Post a Comment