Thursday, December 4, 2014

Belajar. Lagi

Sudah bukan barang aneh lagi kalau suatu saat, di titik tertentu, seseorang akan bertanya (entah pada siapa) kenapa beberapa hal mesti terjadi. Saya pun. Wah, kalau dihitung, dalam kurun waktu dari selesai sidang sampai menjelang wisuda ini saja pasti sudah banyak yang saya pertanyakan. Namun akhirnya, beberapa ditinggalkan begitu saja tanpa jawaban.

Sudah puas? Tidak.

Memang ada saja hal yang tak butuh jawaban, bukan?

Seperti misalnya, kenapa harus tinggal di keluarga seperti ini. Saya seorang sulung dari empat bersaudara, cewek-cowok-cewek-cowok. Ayah dan Ibu pasangan sempurna, romantis malah, tapi keduanya bertolak belakang dengan kepribadian saya. Bukan pinta saya bisa seperti ini. Semua sudah maktub, dari atasnya.

Di satu titik, ya, saya mempertanyakannya. Kenapa ayah saya seperti yang membebaskan juga menjaga adik-adik saya, tapi saya malah dilepas dan dilarang (bagaimana bisa dilepas tapi dilarang? Tanya ayah saya) atau ibu saya yang rasanya tidak mengerti cita-cita saya, padahal saya yakin ini juga terusan dari cita-cita beliau yang dulu.

(Kalau untuk adik, tidak bisa protes, saya yang minta soalnya)

Soal yang lain, agak klise, masalah hati. Benar juga apa kata lagu-lagu, kalau yang begini pasti rumit apa pun bentukannya. Kenapa saya tidak bisa punya kisah cinta yang sederhana saja? Teman masa kecil, jatuh cinta, menikah. Tak ada pihak lain.

Dan kenapa kata hati saya selalu menentang lingkungan saya? Saat itu, di titik itu, saya sadar saya muak dikelilingi makhluk ber-MIPA dari dulu (ya topiknya, ya orangnya) apalagi yang berambisi jadi yang teratas, yang datang ke saya kalau stres saja.

Sampai akhirnya saya menjalani lima bulan ini, kurun waktu selepas sidang dan menjelang wisuda.

Bagaimana saya bisa sampai menerima kalau segala sesuatu tidak harus dengan jawaban kecuali soal Fisika? Pertama, tentu, saya marah-marah dulu. Menjadi ekspresif dan a born rebel membuat saya mengambil langkah ngambek dan 'demot'. Saya ingin sekali merasakan ngekos. Tinggal di lingkungan yang tak membuat saya alergi dingin. Jadi, saya dulu berpikir wajar saja bereaksi seperti itu ketika ayah saya melarang mengambil kerja di Jakarta.

Padahal saat itu saya ingin, ingin sekali pergi.

Semerta-merta, pertanyaan itu muncul: Kenapa? Kenapa tidak boleh? Kenapa selalu saja ada yang menghalangi saya menjajaki mimpi saya? Kenapa harus begini? 

Di sisi lain, saya menyerah saja dengan kisah cinta saya dan mulai menjalani apa adanya, biar nanti masa depan yang buka akhirnya. Dan soal teman-teman, saya tidak begitu perhatikan padahal mereka banyak yang meminta untuk ketemuan satu kelas.

Lalu saya lelah. Capek. Akhirnya saya terima dulu. Meskipun tanpa jawaban, semua hal pasti ber-sebab-akibat, bukan? Saya diam, mengerjakan sesuatu di rumah saja. Saya pun terus berusaha mencari apa yang tepat untuk saya tanpa harus meninggalkan Cimahi atau Bandung.

Setelah menerima itu, saya menikmati. Ternyata, memang bukan jawaban langsung yang saya terima, tapi hikmahnya. Saya lebih sering menghabiskan waktu di Bandung selama 4 tahun ini, di rumah nenek saya untuk kuliah, ketimbang di rumah sendiri. Awalnya saya beralasan Bandung-lah 'rumah' saya dan saya tak pernah bisa merasakan itu di Cimahi. Lama-lama, saya sadar yang membuat suatu tempat menjadi rumah sebetulnya tergantung penghuninya.

Bukti-buktinya: Saya masak. Wow. Saya tidak bisa masak selain kue, tapi kini saya menumis, menggoreng, memotong, memarut.

Saya membuat project DIY bersama adik perempuan saya untuk mendekor kamar. Turns out to be a 'okay' dan banyak yang bilang bagus. Saya juga makin sering menghabiskan waktu bersama dia.

Saya mulai menulis naskah baru sebagai pelipur lara tidak dibolehkan tadi. Coba aktif di goodreads, dan membaca lebih banyak lagi. Saya harus terus produktif di kesukaan saya ini.

Dan seiring waktu, saya menghapus pertanyaan-pertanyaan itu. Memang masih ada yang mengganjal--bagaimana kalau nanti saya dicap tidak profesional oleh perusahaan itu? Bagaimana kalau karena ini, saya susah meraih impian saya? (sampai ke pertanyaan yang kurang berhubungan seperti bagaimana kalau tidak ada yang mau berteman dengan saya lagi?). Kecemasan melanda seperti hujan deras ke kepala saya. Namun, saya berusaha untuk selalu berprasangka baik kepada Tuhan, karena apa pun yang orangtua restui pasti sudah direstui Tuhan juga.

Ya, itu kuncinya. Karena cuma Tuhan yang bisa mengendalikan alam semesta dan isinya.

Hebatnya, begitu saya bisa menikmati hidup saya yang sekarang, dikelilingi keluarga yang utuh yang bisa jadi banyak orang mendambakannya, pertanyaan lain di luar itu juga terkikis. Biar saja kisah cinta saya seperti ini, yang penting saya mau usaha jadi calon istri terbaik buat keluarga baru nanti. Biar saja saya salah jurusan, karena justru di sini saya bisa mengembangkan passion saya dan memiliki lingkaran teman paling solid sedunia.

Semua itu diikuti sejumlah 'Biar saja' yang lainnya.

Dalam kurun waktu lima bulan ini, akhirnya saya belajar. Lagi. Perbaiki perilaku. Bantu ayah, adik, dan ibu. Terus kembangkan potensi. Dan kalau alih-alih bertanya, saya seharusnya bersyukur. Alih-alih melontarkan 'Kenapa?', saya seharusnya mengucap 'Karena'.

Karena segala sesuatu tak mesti memiliki jawaban. Hanya hikmah.

No comments:

Post a Comment