Jadi, saya pernah mencoba menulis cerita romantis--yang ternyata ketika dibaca ulang lebih condong ke Contemporary Romance Young Adult--dan dengan beberapa pertimbangan positif, saya memutuskan untuk melanjutkannya. Namun karena draf dan segala macamnya dibuat sudah lama, dan sekarang pun saya masih mengerjakan proyek tulisan yang lain, saya berusaha untuk membangkitkan mood-nya dulu. Bagian ini terjadi sebelum bab SRT dan masih berkutat pada kegiatan Biologi. Oh, ya, saya masih menggunakan nama Sintas sebagai judulnya. Saya akan sangat senang jika cerita ini bisa diapresiasi kamu semua :)
N.B.: Maaf, ada yang kelupaan. Karena nama si tokoh cowok saat itu belum betul-betul diputuskan, jadinya berbeda dengan yang ada di SRT. Tapi sepertinya bakal nama di sini yang akan dipakai dan yang sebelumnya hanya nama pengganti.
N.B.: Maaf, ada yang kelupaan. Karena nama si tokoh cowok saat itu belum betul-betul diputuskan, jadinya berbeda dengan yang ada di SRT. Tapi sepertinya bakal nama di sini yang akan dipakai dan yang sebelumnya hanya nama pengganti.
Terakhir kali aku melewati Situ
Ciburuy—dan yakin kalau tempat itu nyata—adalah ketika aku masih berusia
sebelas-dua belas tahun, sekitar SD kelas enam. Itu pun hanya lewat dengan
mobil, tidak pernah sampai masuk ke dalamnya. Kalau tidak salah, kami baru saja
pulang dari rumah kerabat yang letaknya aku lupa.
Ingatanku menampilkan gambar
papan nama danau itu disertai rumah bilik bambu kecil yang berderet, yaitu
warung-warung yang mencari penghasilan dari para turis. Genangan air yang
memantulkan bayangan langit sedikit tampak di balik siluet pepohonan,
membentang seolah tak terbatas. Kurang-lebih aku dihadapkan dengan pemandangan
yang sama sekarang. Tidak banyak yang berubah, kecuali gorengan di salah satu
warung yang berjamur, mungkin karena disajikan dari sepuluh tahun lalu saat aku
melintasi daerah ini.
Kakak pergi lagi setelah
menurunkanku dan membayarkan tiketnya, enam ribu rupiah. Meski pakai tiket, tak
ada loket di sini selain seorang bapak setengah pincang yang menjaga pintu
gerbangnya. Gunungan sampah sudah siap menyambutku di dekat tempat duduk semen
yang dilapis ubin keramik putih kusam, tak jauh dari perahu-perahu yang
ditambatkan, menawarkan tumpangan untuk sampai ke pulau kecil di tengah danau.
Sutan terlihat sedang berdiskusi dengan salah satu pemilik perahu itu,
terdengar dari Bahasa Sunda halus yang lamat-lamat terbentur di udara.
Tampaknya cowok itu belum
menyadari kehadiranku. Di bawah pohon kersen, di salah satu tempat duduk ubin
yang bersih—yang kubersihkan lagi dengan tisu—kuletakkan semua alat yang kubawa
di bawah kakiku kemudian duduk. Tanah terasa sedikit lembek karena hujan
kemarin malam, rasanya. Seekor ayam dan kucing berlomba mengais sampah
anorganik yang berbaur dengan dedaunan kering nan lembab, tutup-tutup botol
plastik minuman melompat-lompat terkena cakaran mereka.
Udaranya cukup hangat. Sepertinya
karena kini sudah jam delapan lebih. Kuedarkan pandangan ke kecantikan alam di
hadapku, yang kemudian kusayangkan karena sampah-sampah itu ternyata lebih
menumpuk di bagian outlet—saluran air keluar. Memikirkan bahwa kami akan
menguji kadar keasaman air, di balik ironi menyedihkan ini, ada sedikit
perasaan syukur karena keadaan buruk itu bisa jadi bahan analisis yang bagus.
“Perahu bolak-balik dua puluh
ribu.” Ujar Sutan dari balik bahuku. Suaranya lalu menjelas dan langkah kakinya
terdengar lebih keras. “Itu juga udah ditawar, jadi usahain sekali ambil sampel
langsung berhasil.”
“Yang lain mana?” itu sepertinya
akan selalu jadi pertanyaan pembukaku.
Sutan mengambil duduk di
sampingku, “Mereka rombongan naik angkot carteran. Tadi katanya masih di tol,
tapi nggak tahu kalau si Tiga Diva ikut apa nggak. Yah, gue sih, bodoh amat
sama tuh cewek-cewek.”
Aku mengangguk. Peduli amat
dengan mereka, Jo akan ada di sini. Bersamaku. Pikiran itu lebih menenangkan
dan membuatku langsung bersemangat.
“Yah, yang penting kita bisa
bareng observasi sama kelompok lain.” Kemudian buru-buru kutambahkan,
“Maksudnya, biar hasilnya bisa lebih baik lagi, gitu.”
“Gue juga bersyukur mereka pilih
tempat di sini. Tuh, di sana kan ada pulau, kayaknya kita bisa jadiin patokan
buat ngambil sampelnya sampai air yang ada di tengah sana aja. Gue udah
kepikiran nih, bakal kayak gimana analisisnya.” Sutan menggosok-gosokkan
telapak tangannya dengan cepat.
“Iya, aku juga.” Lalu, aku
teringat sesuatu. “Eh, Bahasa Sunda kamu bagus juga.”
Ia tergelak. Bahunya yang dibalut
jaket petinju dengan dalaman kaus merah polos ikut bergerak-gerak. “Emang gue
nggak kelihatan Sundanya, ya? Asli Sukabumi tahu, tapi lama di Jakarta. Terus
pindah ke Cicaheum setahun lalu.”
Cahaya matahari membentuk titik-titik
berkilau di permukaan situ. Seorang bocah laki-laki pemilik warung buang air kecil
ke arah danau hijau-kebiruan itu, tanpa malu, membuka celananya sambil berdiri
di sebelah temannya yang hanya memandangnya keheranan.
“Jangan dilihat!” Sutan tiba-tiba
menutup mataku dengan tangannya, menahan tawa. Ada jeda tak terlihat dimana aku
kaget setengah mati ketika kulitnya menyentuh sebagian dahiku. Tapi, entah
bagaimana aku malah ikut tertawa.
“Biarin, anak kecil ini, kok!”
aku memegangi pergelangannya, berusaha membuat tangan besarnya menjauh.
Pegangannya pun perlahan mengendur, tapi sejurus kemudian terasa sulit
digerakkan.
“Nggak boleh! Tetap aja porno!”
Tangan kami bergulat sekitar
setengah menit, dengan dia yang tetap mencoba membatasi pandanganku dan aku
yang hendak melepaskannya. Saat aku berhasil, bocah itu berganti jadi
segerombolan mahasiswa yang menenteng kantung-kantung besar dan pelampung. Di
punggung mereka tercangkol tas dan sepatu mereka berjejak basah. Suara deru
angkot yang pergi terburu-buru menemani kedatangannya.
Jo. Dia mengenakan kaus coklat
lengan pendek, celana kargo, dan sandal gunungnya. Dia sedang membawa pelampung
di lengan kirinya yang menyembulkan otot meski dari kejauhan. Matanya menatap
danau, alisnya menukik karena silau.
Teman sekelompoknya berjajar di
belakangnya. Rianti, cewek yang pernah mampir di pikiranku karena Jo, mengikat
rambutnya kuncir kuda dan membawa peralatan dalam satu kantung plastik besar.
Di belakang, Wening, Kiara, dan Ari masuk dengan enggan. Aku juga tahu Desta
kini memeriksa turbidometer yang kubawa, tapi mataku terpaku pada Jo seorang.
Jantungku memompa lebih kuat seiring langkahnya mendekat.
“Hei, Vitri. Udah lama di sini?”
Padahal ada Sutan di sebelahku,
tapi hanya aku yang dipanggil. Kalau Sutan wanita, pasti aku akan lebih
bahagia, meski kesenangan ini pun tetap meledak-ledak di dadaku. “Nggak kok,
baru sampai lima menitan, lah. Sutan yang duluan ke sini.”
“Jadi, kita di sini ngambil
sampelnya aja, kan?” ucap Desta meminta keyakinan.
Sutan menjawab, “Sama ngetes
faktor kimianya, soalnya harus langsung dikerjain pas kondisi segar.”
Selain Rianti, ada Yuni dan satu
lagi yang aku kurang hapal nama dan mukanya—kalau tidak salah ada huruf F di
nama depannya. Cowok itu kurus sekali, kulitnya lebih gelap dari Jo, tapi
bersih. Dia tidak banyak bicara kecuali ditanya, dan pertanyaan pertama
untuknya hari ini adalah tentang rak tabung reaksi dari Rianti.
Sutan menjelaskan temuannya soal
harga perahu yang kemudian didiskusikannya bersama Jo dan Desta. Rianti
mengambil alih tempat duduk Sutan yang sudah berdiri di sebelahku, lalu
menampakkan senyumnya.
Ah, dia cantik. Tipe tomboi yang
cantik, cewek pecinta alam yang cantik, penyuka kebebasan yang cantik. Makin
terlihat dari kulitnya yang terang.
Kubalas sapaannya dengan cara
yang sama.
“Oke, teman-teman. Jadi gini,” Jo
memulai. Suaranya memang tidak selantang Desta, tapi aura itu betul-betul
melingkupi dirinya seperti asap biang es pada tokoh utama film laga. Bahkan,
tiga cewek yang enggan kusebut namanya satu-satu pun, dari bergosip soal asprak
paling menawan, langsung terdiam begitu mendengarnya. “Tadi saya ngobrol sama
Desta, dan jadinya ada perubahan pembagian tugas. Kelompok saya kemarin udah
ngomongin ini. Ada yang ngambil sampel, ada yang langsung ngetes di lokasi
seperti faktor yang butuh diukur secepatnya. Berhubung kelompok Desta belum
bicarain soal pembagian tugas, jadi kita gabung aja dulu semua anggotanya, baru
nanti kalau sudah dapat hasil masing-masing bisa dipakai sesuai kebutuhan.
Gimana?”
Aku suka bagaimana tangannya bergerak
ketika berbicara, dan bagaimana ia bertanya persetujuan dari semua dahulu
sebelum keputusan itu benar-benar dijalani. Aku suka bagaimana angin turut
bermain mengelilinginya, mengibarkan rambut dan ujung kerahnya, biji matanya
tampak lebih coklat karena cahaya.
“Aku setuju.” Aku yang pertama
menjawab.
Bisa kudengar cebikan bibir tak
jauh dari sini, namun tertutup dengan suara ‘ya’ dari ‘si F’ dan anggukan
Rianti yang diikuti seruan ‘oke’. Kami pun berbagi tugas—lagi-lagi lewat
kocokan—dan aku kebagian naik perahu, mengambil sampel air.
No comments:
Post a Comment