Sebetulnya ini adalah cuplikan dari percobaan saya menulis roman. Ternyata sulit (haha) dan belum selesai, juga belum ada rencana untuk melanjutkan. Gara-gara menonton acara rekomendasi tempat liburan tadi pagi, dan lokasinya di Bandung, dan bertema panjat-memanjat, saya jadi ingin berbagi potongan cerita ini. Adegan ini jadi salah satu favorit saya dan didekasikan untuk teman-teman dari Biocita Biologi UPI Bandung yang sudah membantu kami para fakir asprak IPSE dalam mengikuti kuliah lapangan Ekologi Umum. Saran dan kritik sangat diterima! :)
Oh ya, cerita ini saya beri judul Sintas, terjemahan dari Survive yang juga saya pelajari di matkul Ekum. Semoga bisa dinikmati sebesar saya menikmati menulis bagian ini.
*
“Bojo, pakai-in harness gue dong, please!”
Kunjunganku ke basecamp Biocita ternyata sempat
mematirasakan inderaku akan keadaan sekitar. Maksudku, aku jadi merasa bahwa
manusia satu-satunya yang hidup di bumi ini hanya aku dan Jo, dan kita
sama-sama bertualang untuk kehidupan baru seperti yang Hollywood sering
gambarkan di film-filmnya.
Sampai Sabtu pagi datang.
Aku baru sadar ternyata aku memiliki tiga perempuan teman
satu kelompok di Ekum, yang frekuensi suaranya bisa memecahkan gelas wine.
Karena lengkingan itu, semua rencanaku dan angan-angan untuk bisa dilatih
memanjat lurus pohon bercabang tinggi secara eksklusif oleh Jo buyar sudah.
Berantakan.
Terima kasih banyak.
“Ayo Jo, buruan ngurusin talinya! Tali webbing gue nggak
kencang-kencang, nih.” Kiara menarik-narik tali pipih dan lebar berwarna ungu
tua yang diikat di sekitar pahanya. Menggoda. “Bantuin gue ikatin dulu, sih...”
Siapa Anda, hah? Beraninya berkata begitu ke Jo!
“Iya nih, gue juga. Cepetan dong!” manyun Wening. Ari
menimpali dengan gerakan kontinu, menyamakan tali yang melingkar di
pinggang—pinggul, tidak bisa dibedakan—dan ikut berteriak hal menggelikan yang
sama.
Tetapi, aku bangga pada Jo. Dia tetap sibuk dengan persiapan
membuat jalur memanjat di Terminalia catappa
setinggi delapan meter di Kebun Botani kampus ini. Meskipun bukan kali pertama
aku kemari—saat matakuliah Keanekaragaman Tumbuhan, kami diminta untuk mencatat
spesies yang ada dan itu sebabnya aku bisa tahu nama Latin pohon ketapang—aku
merasa asing di rerimbunan hutan mini ini, kalau saja tidak ada dia.
Malaikatku terlihat sedang memastikan kencangnya ikatan tali
di pohon itu agar aman untuk dipanjati SRT—Single
Rope Technique, teknik umum untuk mengadakan penelitian pada pohon-pohon
besar. Ia kemudian menoleh.
“Gimana, Vit? Siap?”
Dari semua orang yang berkata padanya, ia malah memilihku
untuk diajak bicara. Ha! Satu poin kemenangan lagi untukku. “Iya, siap.”
“Kamu mau pakai harness
yang langsung kayak gini atau yang itu aja? Udah kepasang benar, kan?” ceknya.
Tangan satunya mengambil harness siap pakai yang ukurannya terlihat jelas
terlalu besar buatku. Di belakang, bisik-bisik dari tiga penyihir itu makin
terdengar seperti angin ribut saja.
Kupamerkan senyumku pada mereka, lalu ke Jo. “Yap. Yang ini
aja.”
Tidak sia-sia aku datang pagi—giliran pertama memang yang
terbaik. Selain bertemu Jo dari awal ia datang dan menjejak kakinya di tanah
Botani yang gembur, ia juga melatihku dulu jauh sebelum trio cewek pengganggu
itu ada di sini. Aku kini diajaknya mendekat ke pohon, lalu ia mengaitkan
carabiner-ku, mencontohkan pengoperasiannya jika aku turun nanti. Tak kurang,
ia menyemangatiku pula.
“Pokoknya kamu tinggal ambil figure eight-nya dari sini,
terus buat simpulnya. Masih ingat, kan? Coba, dibuat di sini dulu.”
Aku memeragakan cara membuat simpul di tali yang Jo
serahkan.
Jo tersenyum manis sekali. “Bagus, bagus. Yang penting,
jangan panik. Kamu pasti bisa sampai sana dan turun lagi dengan benar.”
Aku berbuat kesalahan. Karena over-percaya diri telah menang
dari Wening dan kawan-kawan, aku merasa dunia pun dapat kutaklukan sampai Jo
berkata ‘panik’. Kenapa dia tidak bilang ‘santai saja’ atau kalimat bernada
positif lainnya? Itu sama saja dengan ‘jangan pikirkan gajah’ maka apa yang ada
di pikiran adalah gajah. Sekarang, kaus kakiku mulai terasa sesak dan licin
karena keringat dingin.
Ah, tapi dia Jo. Tidak mungkin aku menyalahkannya.
“Oke.” Senyumku, membalasnya.
Ya. Aku pasti bisa.
Ketinggian telah menjadi musuhku setelah udara dingin dan kotor.
Entah apa penyebabnya, aku tidak tahu—atau mungkin tidak ingat. Sejak kecil,
aku selalu takut naik tangga apa pun di kali pertama. Harus dibiasakan sampai
setidaknya lima kali untuk menjadi familiar dengan lantai dua, jendela, dan
balkonnya.
Sesaat aku memikirkan Tika. Kata-katanya tentang aku yang
‘lemah’ memang terbukti dan tidak bisa dibantah. Haruskah aku tetap tunduk pada
stereotip itu? Kugantungkan sebelah kaki di tali webbing yang akan menumpu
berat badanku. Perlahan kunaikkan ascender, hati-hati, agar jariku tak terjepit
dan terpaksa dipotong putus. Tidak mau. Aku tidak mau cewek-cewek itu berkoar
puas melihatku kalah dan Jo harus tahu kalau aku takut, itu tidak boleh
terjadi.
Satu, dua, kuangkat badan ke atas, kini sudah sampai cukup
tinggi untuk melompat. Otot-otot tangan dan kakiku mulai berdenyut pegal. Di
bawah—jangan lihat bawah! Terlanjur—kulirik teman sekelompokku yang hanya
perempuannya. Desta mungkin sedang mengerjakan hal lain, sementara Arief—
“Oi, Savi!”
Sedang apa dia di atas sana?!
“Buruan manjatnya! Lama amat, kayak cewek aja.”
Cowok itu tengah duduk terlampau santai di sebuah cabang
terdekat yang kuat dan besar, punggungnya bersandar pada batang utama. Kakinya
diluruskan, benar-benar tidak sesuai dengan tata cara duduk di ketinggian.
Kepalanya terlihat kecil sekali dari sini, tapi teriakannya tadi terdengar
keras.
“Sejak kapan kamu di situ?!” tanyaku sungguh-sungguh. Aku
tidak melihatnya datang, tidak sama sekali. Seluruh perhatianku hari ini
sepertinya terpusat pada Jo saja.
“Dari tadi gue panggil-panggil lo nggak nyahut!” katanya,
membenarkan hipotesisku yang baru saja. “Mana lamban banget, gue panggil Sapi
juga, nih!”
“Sembarangan!”
“Sapi! Sapitri!”
Kudengar Jo tertawa. Tidak sampai terpingkal, tapi cukup
membuatku diam karena malu. Kuberhentikan diri sampai titik ini, tangan
kuarahkan untuk memegang batang pohon yang bersalut lichen dan getah, mata
kutujukan ke bawah.
“Jangan lihat ke bawah! Gimana bisa maju kalau lihatnya ke
bawah terus?” komentar Arief, menyebalkan seperti kedengarannya.
“Maju tuh ke depan, bukan ke atas!” rasakan!
“Jangan ngomong doang, lakukan!”
Sial! Manusia macam apa sebenarnya, Arief ini?
Kepribadiannya yang mana lagi yang kini ia tunjukkan kepadaku?
Tetapi, ia benar. Aku benci mengakuinya, tapi ia seolah
menyemangatiku dengan cara berbeda. Bisa jadi, siapa tahu, dari tadi ia
mengamati perilaku teman sekelompoknya yang lain—yah, mereka itu—kepadaku. Arief yang paling mengerti soal ini, yang jelas.
“Sapi!”
“Berisik! Aku naik, nih!”
Kutengadahkan kepala. Taliku berputar-putar, mengajakku
turut serta. Pemandangan daun-daun ketapang yang lebar dan hijau segar langsung
memenuhi pandangan. Kuputuskan untuk fokus pada tali saja, jadi kueratkan
pegangan sebelum mengangkat beban diri sendiri setingkat lebih atas, lima kali,
sepuluh, lalu Jo meneriakiku.
“Sedikit lagi, Vit!”
Dia tidak bohong, Arief jadi tampak lebih dekat. Orang yang
sekarang sedang mengesalkan itu membuang pandangannya ke depan, entah apa yang
dilihatnya. Gaya duduknya benar-benar relaks, seakan tidak takut ada
gravitasi sekuat 9,8 meter per sekon kuadrat yang kapan saja akan menariknya.
Selangkah aku membuat badan ini terlihat seperti ulat yang
berjalan vertikal, kudapati berkas sinar mentari menyelusupi sela-sela dedaunan,
ikut menimpa wajahku. Hangat rasanya. Tampak juga seisi Botani, bunga-bunga
dalam pot, kandang burung yang kosong. Aku makin mendongak. Hijau daun tadi
berubah jadi lebih cerah, lebih jernih. Seperti video dari National Geographic,
hanya lebih nyata.
“Jangan lihat bawah.”
Arief sialan... kenapa dia harus bilang seperti itu di saat
aku hendak duduk di sampingnya, lalu menyiapkan figure eight-ku dan
menyimpulnya baik agar bisa meluncur ke bawah dengan selamat?!
Buru-buru kuraih batang pohon dengan seluruh pelukanku,
membuatnya menyingkir ke ujung cabang. Aku tidak duduk. Belum. Hanya seperempat
bagian belakang yang benar-benar menyentuh kasarnya kulit kayu dari cabang ini.
Aku bahkan tidak bisa merasa apa kakiku masih tergantung di tali atau tidak.
“Lepas dulu tumpuannya.”
Ah, masih ternyata. Tidak mungkin kulepas begitu saja.
“Buruan, kalau nggak dilepas, lo nggak akan bisa turun.”
“Bisa diam sebentar nggak, sih?!” suaraku bergetar seperti
jari-jariku. Sungguh tidak sopan, sekarang Arief malah menunjukkan
keberaniannya dengan berbaring—berbaring, ya Tuhan!—dan menekuk satu kakinya.
Seolah tak cukup, tangannya tidak melakukan apa pun selain menjadi bantal bagi
kepalanya.
“Lama, nih. Ngantuk.”
“Orang gila!” pekikku ngeri. “Itu bahaya, tahu! Lagian,
daripada kayak begitu, mending bantuin lepasin figure eight-nya!”
“Sendiri aja, lah. Nanti juga kalau kulap besar, lo yang
bakal sendirian di atas, kan?”
Bagus sekali. Aku tidak tahu sudah berapa liter keringat
dingin yang mengucur dari organ terluas di tubuhku ini, sampai rasanya seperti
habis dicelup dalam minyak. Pelan, sangat pelan, kulepas sebelah tangan dan
mengganti pegangan ke tali. Sedikit demi sedikit badan kugeserkan agar bisa
duduk dengan lebih layak.
Arief bangun, mengagetkanku. Kupeluk batang pohon lagi.
“Nah, gitu. Buat nyaman dulu, duduk yang enak.”
“Sinting.” Makiku lirih.
“Sekarang, lepasin tumpuannya.”
Ia tahu-tahu membuat kakiku melayang, menendang-nendang
udara dengan bebas. Tak ada lagi ganjalan yang mengamankan. Entah bagaimana
caranya ia melepas harapanku untuk tetap hidup itu.
Anehnya, aku tidak panik.
“Terus, lo bisa ambil figure eight-nya. Hati-hati, jangan
sampai salah buka carabiner terus lepas dan jatuh. Kalau udah begitu, silakan
lompat saja.”
“Jangan malah nakut-nakutin, dong!”
“Bukan nakutin, gue mengingatkan. Tadi kan, lo udah khatam
gimana cara ngikat simpulnya. Ayo sekarang buktikan.”
Arief menatapku. Fokus dan tahu tujuan. Mataku.
Karena itu, aku jadi ikut menatapnya. Melihatnya masih
santai tanpa pegangan apa pun membuatku merasa seolah yang kualami sekarang
bukan apa-apa. Aku punya tali, aku punya carabiner dan figure eight dan webbing
yang kuat, aku punya Arief di sini.
Aku punya Arief di sini.
Ada orang yang lebih tahu bagaimana cara untuk turun. Tidak
perlu risau. Seperti tadi, pasti tiba-tiba ia akan membantuku kalau tahu aku
perlu bantuan. Mungkin sekarang ia mau bermain-main dulu.
Kuterima tantangannya.
Kuterima tantangannya.
“Nih, lihat.” Kuraba tali webbing sepanjang pinggulku,
mencari keberadaan alat berbentuk angka delapan itu. Kubuka carabiner
hati-hati, mengeluarkannya. Kubuat simpul di figure eight pada tali utama,
mengencangkannya, sudah siap. “Benar, kan?”
“Bagus, anak pintar.” Ujarnya seolah ia ayahku.
HAHAHAHAHA... PARAH DIKAU BEB!!
ReplyDeleteBisa aja nyatuin kalimat sampe jadi utuh, renyah dan empuk kayak gini. Gosh you are such a damn writer! I guess arranging sentences and making it become a story is as easy as breathing for you eh?
P.S. Arief itu anagram kan?
Anagram dari apa? Haha
DeleteAlhamdulillah, aamiin. Terima kasih, Silm. Masih belajar (dan akan terus menulis insya Allah). Tapi kamu tetap jadi ratunya cerita roman, kok :D
One thing for sure, teaching is waaay harder!
Baru baca..tapi baca ini berasa semua bayangan pas kulap ekum terulang lagi.
ReplyDeleteArief itu kang arief kah?
Roman itu romance atau cerita seseorang dari lahir sampai meninggal?
Bukan, cuma namanya aja yang minjem. Hehe. Maaf ya, Kang Arief *brb beresin harness*
DeleteKayaknya roman udah mengalami pergeseran makna, Nu. Tadinya aku juga masih nganggep itu cerita seumur hidup, tapi tiap ada obrolan roman nyambungnya ke romance -,- jadi ngikutin yang kekinian aja deh :P