Monday, May 18, 2015

Situ Ciburuy

Jadi, saya pernah mencoba menulis cerita romantis--yang ternyata ketika dibaca ulang lebih condong ke Contemporary Romance Young Adult--dan dengan beberapa pertimbangan positif, saya memutuskan untuk melanjutkannya. Namun karena draf dan segala macamnya dibuat sudah lama, dan sekarang pun saya masih mengerjakan proyek tulisan yang lain, saya berusaha untuk membangkitkan mood-nya dulu. Bagian ini terjadi sebelum bab SRT dan masih berkutat pada kegiatan Biologi. Oh, ya, saya masih menggunakan nama Sintas sebagai judulnya. Saya akan sangat senang jika cerita ini bisa diapresiasi kamu semua :)

N.B.: Maaf, ada yang kelupaan. Karena nama si tokoh cowok saat itu belum betul-betul diputuskan, jadinya berbeda dengan yang ada di SRT. Tapi sepertinya bakal nama di sini yang akan dipakai dan yang sebelumnya hanya nama pengganti. 

*

Terakhir kali aku melewati Situ Ciburuy—dan yakin kalau tempat itu nyata—adalah ketika aku masih berusia sebelas-dua belas tahun, sekitar SD kelas enam. Itu pun hanya lewat dengan mobil, tidak pernah sampai masuk ke dalamnya. Kalau tidak salah, kami baru saja pulang dari rumah kerabat yang letaknya aku lupa.

Ingatanku menampilkan gambar papan nama danau itu disertai rumah bilik bambu kecil yang berderet, yaitu warung-warung yang mencari penghasilan dari para turis. Genangan air yang memantulkan bayangan langit sedikit tampak di balik siluet pepohonan, membentang seolah tak terbatas. Kurang-lebih aku dihadapkan dengan pemandangan yang sama sekarang. Tidak banyak yang berubah, kecuali gorengan di salah satu warung yang berjamur, mungkin karena disajikan dari sepuluh tahun lalu saat aku melintasi daerah ini.

Kakak pergi lagi setelah menurunkanku dan membayarkan tiketnya, enam ribu rupiah. Meski pakai tiket, tak ada loket di sini selain seorang bapak setengah pincang yang menjaga pintu gerbangnya. Gunungan sampah sudah siap menyambutku di dekat tempat duduk semen yang dilapis ubin keramik putih kusam, tak jauh dari perahu-perahu yang ditambatkan, menawarkan tumpangan untuk sampai ke pulau kecil di tengah danau. Sutan terlihat sedang berdiskusi dengan salah satu pemilik perahu itu, terdengar dari Bahasa Sunda halus yang lamat-lamat terbentur di udara.

Tampaknya cowok itu belum menyadari kehadiranku. Di bawah pohon kersen, di salah satu tempat duduk ubin yang bersih—yang kubersihkan lagi dengan tisu—kuletakkan semua alat yang kubawa di bawah kakiku kemudian duduk. Tanah terasa sedikit lembek karena hujan kemarin malam, rasanya. Seekor ayam dan kucing berlomba mengais sampah anorganik yang berbaur dengan dedaunan kering nan lembab, tutup-tutup botol plastik minuman melompat-lompat terkena cakaran mereka.

Udaranya cukup hangat. Sepertinya karena kini sudah jam delapan lebih. Kuedarkan pandangan ke kecantikan alam di hadapku, yang kemudian kusayangkan karena sampah-sampah itu ternyata lebih menumpuk di bagian outlet—saluran air keluar. Memikirkan bahwa kami akan menguji kadar keasaman air, di balik ironi menyedihkan ini, ada sedikit perasaan syukur karena keadaan buruk itu bisa jadi bahan analisis yang bagus.

“Perahu bolak-balik dua puluh ribu.” Ujar Sutan dari balik bahuku. Suaranya lalu menjelas dan langkah kakinya terdengar lebih keras. “Itu juga udah ditawar, jadi usahain sekali ambil sampel langsung berhasil.”

“Yang lain mana?” itu sepertinya akan selalu jadi pertanyaan pembukaku.

Sutan mengambil duduk di sampingku, “Mereka rombongan naik angkot carteran. Tadi katanya masih di tol, tapi nggak tahu kalau si Tiga Diva ikut apa nggak. Yah, gue sih, bodoh amat sama tuh cewek-cewek.”

Aku mengangguk. Peduli amat dengan mereka, Jo akan ada di sini. Bersamaku. Pikiran itu lebih menenangkan dan membuatku langsung bersemangat.

“Yah, yang penting kita bisa bareng observasi sama kelompok lain.” Kemudian buru-buru kutambahkan, “Maksudnya, biar hasilnya bisa lebih baik lagi, gitu.”

“Gue juga bersyukur mereka pilih tempat di sini. Tuh, di sana kan ada pulau, kayaknya kita bisa jadiin patokan buat ngambil sampelnya sampai air yang ada di tengah sana aja. Gue udah kepikiran nih, bakal kayak gimana analisisnya.” Sutan menggosok-gosokkan telapak tangannya dengan cepat.

“Iya, aku juga.” Lalu, aku teringat sesuatu. “Eh, Bahasa Sunda kamu bagus juga.”

Ia tergelak. Bahunya yang dibalut jaket petinju dengan dalaman kaus merah polos ikut bergerak-gerak. “Emang gue nggak kelihatan Sundanya, ya? Asli Sukabumi tahu, tapi lama di Jakarta. Terus pindah ke Cicaheum setahun lalu.”

Cahaya matahari membentuk titik-titik berkilau di permukaan situ. Seorang bocah laki-laki pemilik warung buang air kecil ke arah danau hijau-kebiruan itu, tanpa malu, membuka celananya sambil berdiri di sebelah temannya yang hanya memandangnya keheranan.

“Jangan dilihat!” Sutan tiba-tiba menutup mataku dengan tangannya, menahan tawa. Ada jeda tak terlihat dimana aku kaget setengah mati ketika kulitnya menyentuh sebagian dahiku. Tapi, entah bagaimana aku malah ikut tertawa.

“Biarin, anak kecil ini, kok!” aku memegangi pergelangannya, berusaha membuat tangan besarnya menjauh. Pegangannya pun perlahan mengendur, tapi sejurus kemudian terasa sulit digerakkan.

“Nggak boleh! Tetap aja porno!”

Tangan kami bergulat sekitar setengah menit, dengan dia yang tetap mencoba membatasi pandanganku dan aku yang hendak melepaskannya. Saat aku berhasil, bocah itu berganti jadi segerombolan mahasiswa yang menenteng kantung-kantung besar dan pelampung. Di punggung mereka tercangkol tas dan sepatu mereka berjejak basah. Suara deru angkot yang pergi terburu-buru menemani kedatangannya.

Jo. Dia mengenakan kaus coklat lengan pendek, celana kargo, dan sandal gunungnya. Dia sedang membawa pelampung di lengan kirinya yang menyembulkan otot meski dari kejauhan. Matanya menatap danau, alisnya menukik karena silau.

Teman sekelompoknya berjajar di belakangnya. Rianti, cewek yang pernah mampir di pikiranku karena Jo, mengikat rambutnya kuncir kuda dan membawa peralatan dalam satu kantung plastik besar. Di belakang, Wening, Kiara, dan Ari masuk dengan enggan. Aku juga tahu Desta kini memeriksa turbidometer yang kubawa, tapi mataku terpaku pada Jo seorang. Jantungku memompa lebih kuat seiring langkahnya mendekat.

“Hei, Vitri. Udah lama di sini?”

Padahal ada Sutan di sebelahku, tapi hanya aku yang dipanggil. Kalau Sutan wanita, pasti aku akan lebih bahagia, meski kesenangan ini pun tetap meledak-ledak di dadaku. “Nggak kok, baru sampai lima menitan, lah. Sutan yang duluan ke sini.”

“Jadi, kita di sini ngambil sampelnya aja, kan?” ucap Desta meminta keyakinan.

Sutan menjawab, “Sama ngetes faktor kimianya, soalnya harus langsung dikerjain pas kondisi segar.”

Selain Rianti, ada Yuni dan satu lagi yang aku kurang hapal nama dan mukanya—kalau tidak salah ada huruf F di nama depannya. Cowok itu kurus sekali, kulitnya lebih gelap dari Jo, tapi bersih. Dia tidak banyak bicara kecuali ditanya, dan pertanyaan pertama untuknya hari ini adalah tentang rak tabung reaksi dari Rianti.

Sutan menjelaskan temuannya soal harga perahu yang kemudian didiskusikannya bersama Jo dan Desta. Rianti mengambil alih tempat duduk Sutan yang sudah berdiri di sebelahku, lalu menampakkan senyumnya.

Ah, dia cantik. Tipe tomboi yang cantik, cewek pecinta alam yang cantik, penyuka kebebasan yang cantik. Makin terlihat dari kulitnya yang terang.

Kubalas sapaannya dengan cara yang sama.

“Oke, teman-teman. Jadi gini,” Jo memulai. Suaranya memang tidak selantang Desta, tapi aura itu betul-betul melingkupi dirinya seperti asap biang es pada tokoh utama film laga. Bahkan, tiga cewek yang enggan kusebut namanya satu-satu pun, dari bergosip soal asprak paling menawan, langsung terdiam begitu mendengarnya. “Tadi saya ngobrol sama Desta, dan jadinya ada perubahan pembagian tugas. Kelompok saya kemarin udah ngomongin ini. Ada yang ngambil sampel, ada yang langsung ngetes di lokasi seperti faktor yang butuh diukur secepatnya. Berhubung kelompok Desta belum bicarain soal pembagian tugas, jadi kita gabung aja dulu semua anggotanya, baru nanti kalau sudah dapat hasil masing-masing bisa dipakai sesuai kebutuhan. Gimana?”

Aku suka bagaimana tangannya bergerak ketika berbicara, dan bagaimana ia bertanya persetujuan dari semua dahulu sebelum keputusan itu benar-benar dijalani. Aku suka bagaimana angin turut bermain mengelilinginya, mengibarkan rambut dan ujung kerahnya, biji matanya tampak lebih coklat karena cahaya.

“Aku setuju.” Aku yang pertama menjawab.

Bisa kudengar cebikan bibir tak jauh dari sini, namun tertutup dengan suara ‘ya’ dari ‘si F’ dan anggukan Rianti yang diikuti seruan ‘oke’. Kami pun berbagi tugas—lagi-lagi lewat kocokan—dan aku kebagian naik perahu, mengambil sampel air.

No comments:

Post a Comment