Saturday, June 20, 2015

Buku Penghubung

Assalamu'alaikum,

hai kelas 3 Aster, apa kabar? Alhamdulillah aku baik-baik saja. Aku senang karena aku bisa shaum hari pertama di rumah, tapi aku sedih karena hari ini hari terakhir liburan awal puasa Ramadhan di rumah. Besok Senin aku harus masuk sekolah lagi. Hiks, hiks.

Sudah, ah.

Kembali ke gaya bahasa biasa saja, ya?

Yah, kurang lebih seperti itulah yang sering ditulis anak-anak di buku penghubung mereka. Ceritanya, posting-an ini jadi selembar buku penghubung saya, tempat curhat untuk kejadian sehari itu. Tapi saya mau menulis tentang sebulan-dua bulan sebelumnya--bahkan lebih--sampai sekarang. Terutama tentang kenapa saya bisa menulis 'buku penghubung'.

Pasti ada saja, minimal satu, hal yang tidak terduga dalam hidup. Mau seberapa rapi rencana itu dibuat, pada pelaksanaannya elemen kejutan ini tiba-tiba saja datang dan membuat berpikir, 'Well, I never planned this way but it happened, so be it.' Buat saya, itu yang sekarang dialami.

Saya sekarang mengajar di kelas 3 SD.

Oke, saya sekarang mengajar pun sebetulnya sudah cukup mengejutkan beberapa pihak.

Terutama guru-guru SD saya. Saya yakin.

Meskipun memang, saya baru magang jadi pengganti dan akan mulai resmi di tahun ajaran depan. Padahal saya bukan tipe orang dengan teacher material. Ada saja kan, beberapa teman kita yang secara alamiah punya aura guru, seperti senang mentutor atau akrab dengan anak-anak. Saya bukan. Atau tepatnya, saya pikir saya bukan seperti itu. Tapi di sinilah saya sekarang, memeriksa buku penghubung siswa dan membubuhkan tanda tangan di sana, tiga bintang untuk yang salat lima waktu seperti yang guru saya lakukan dulu.

Mengenai itu, saya bersyukur. Banyak pendidik di tempat saya bekerja yang dulunya bersekolah di SD negeri. Saya pribadi melamar di tempat itu (petunjuk: nama sekolahnya terdiri dari dua huruf yang seolah diambil langsung dari KBBI) karena saya merasakan lingkungan yang familiar dengan SD saya. Bernuansa islami, sesama guru tampak akrab, banyak kegiatan di tiap bulannya, dan kelas dengan 20+ orang saja.

Tapiii. Bekerja di sana betul-betul mengingatkan saya dengan SD saya dalam hal lain.

Satu: betapa saya dulu mirip sekali dengan murid-murid saya sekarang, dan

Dua: pasti dulu guru-guru SD saya begitu kerepotan mengajar saya.

Bukti untuk poin dua adalah yap, saya kerepotan. Awalnya. Terutama awalnya, tentu saja. Sebelumnya saya menggantikan guru SMP, kemudian observasi di level 5, tapi begitu terjun ke level 3 stamina saya seakan kehabisan. Suara saya habis, sakit flu dua kali, belum lagi penyesuaian dengan rekan-rekan, berada di antara guru-baru-dan-tidak karena ikut in-house training tapi setelahnya masih mengurusi kisi-kisi.

Dan yang memengaruhi kerepotan itu pastinya karena poin satu juga. Sampai sekarang pun saya masih heran dengan semua kemiripan ini.

Contoh #1: Sasa, yang karena kelakuannya dipanggil Anastasya (nama lengkapnya) oleh wali kelasnya, protes dengan terbuka, 'Jangan panggil aku Anastasya!'. 12 tahun lalu, Ifa, dipanggil oleh wali kelasnya If A (Jika A) dan saya sontak protes, 'Nama aku bukan Jika A!'

Contoh #2: Rayhandi, yang sedang berulang tahun, tiba-tiba menghampiri saya. 'Bu, tahu nggak hari ini hari apa? Ini hari ulang tahunku.' 16 tahun lalu, di hari kelahiran saya yang ke-7, saya berkata ke Ibu Nung sambil melompat, 'Bu, hari ini aku ulang tahun, loh!'

Contoh #3: Zaidan, yang tadinya mendengarkan saya bicara tentang puasa, tiba-tiba berceletuk, 'Bu Bu, masa ya waktu bulan puasa tahun kemarin, aku kan habis main bola, terus biar nggak haus aku masukkin aja kepala ke kulkas. Dingin, Bu!'. Dan saya, 14 tahun lalu, di tengah-tengah kuliah Pak Panca, saya tahu-tahu berceletuk, 'Pak Pak, masa aku pernah waktu itu ngelihat ke luar pas malam-malam, terus bulannya gitu, Pak!'

Saat saya jadi murid, saya merasa semua itu penting sekali. Namun saat saya jadi gurunya, saya merasa... uh, apa banget. Dan saya sadar saya sangat apa banget waktu SD. Apa guru-guru saya dulu juga merasakan hal yang sama? Entahlah. Tapi saya jadi ingin meminta maaf pada beliau-beliau karena sudah banyak mengganggu, hehe.

Karma? Muslims don't believe in karma. Kalau kata saya, mungkin saja ini salah satu hal yang konstan di dunia. Anak kecil akan selalu bertingkah seperti itu, dan setiap guru juga akan mengalami seperti itu, mau itu di abad 21 atau sebelum masehi. Walaupun model, metode, sampai kurikulum yang digunakan berbeda dan makin baik, buktinya saya masih bisa temukan kesamaan itu. Bahkan setelah nyaris dua puluh tahun.

Semoga saya betah dan bisa sesabar guru-guru saya.

Update Juli 2015: Di tahun ajaran baru ini, saya diamanahkan untuk menjadi guru kelas di Level 2. Dengan peserta didik yang lebih muda, saya lipat gandakan doa di atas. Hehe.

Terima kasih sudah membaca, sampai jumpa lagi ya, Aster! Da dah~

No comments:

Post a Comment