Wednesday, April 18, 2018

Pop Punk Post-2000s Edition

Ilustrasi aka songpic (istilah saya sendiri) yang saya buat berdasarkan dua lagu All Time Low, Stay Awake (Dreams Only Last For A Night) dan Somewhere In Neverland

Di tahun pertama saya mengajar dulu, saya dan rekan-rekan guru yang baru saja melewati sesi bagi raport (kalau di sekolah kami namanya Parent-Teacher Interview) memutuskan untuk menghibur diri dengan berkaraoke. Sesampainya kami di sana, kami memilih lagu bergantian dan bernyanyi, lalu sampailah pada pilihan lagu saya.

"Siapa nih, yang pilih Linkin Park?" tanya seorang guru heran.

Saya maju, mengambil mik, dan menyanyi. Semua orang bengong. Pasalnya, penampilan saya selama mengajar ternyata mengecoh mereka sampai berasumsi bahwa saya orangnya 1) feminin 2) suka musik pop lembut karena feminin itu, dan 3) KOK BISA YANG TIAP HARI PAKAI ROK DAN WARNA-WARNA PASTEL NYANYI LINKIN PARK? Ya, kira-kira seperti itulah. Saya nggak bisa scream, nada-nada tinggi juga suka meleset, dan suara saya tentu saja tak semaskulin penyanyi aslinya, tapi toh saya tetap bernyanyi. Selanjutnya, Bu Sena, guru olahraga memilih lagu Saosin yang Seven Years dan saya langsung lanjut because man, that song is my jam since 9th grade! Dan karena yang diputar versi screamo-nya, saya jadi berusaha 'berteriak' dan itu malah membuat semua orang yang lihat makin berdecak (kagum) bingung...

Esoknya, berita langsung tersebar. Bu Ifa tidak seperti kelihatannya--she loves rock and any other hardcore music. Tiap saya ketemu guru yang tidak ikut karaoke, mereka berkomentar along the lines of 'I can't believe you're into rock music!' (direct quote dari seorang guru Bahasa Inggris) dan 'Wuih, Bu Ifa ternyata rocker!' (kata Pak Zaki, guru olahraga juga). Saya senyum-senyum saja. Ternyata, kalau sudah terbongkar, saya tidak bisa bohong--jiwa musik saya masih terperangkap dalam band-band alternatif dari tahun 2000-an, and deep in my heart I'm always practically 14 years old.

Lalu, apa lagi band alternatif dari tahun 2000-an selain Linkin Park dan Saosin? THOSE EMO BANDS, OF COURSE. Atau sekarang lebih populer dengan label 'Pop Punk.' Ada pula pop rock, punk rock, screamo, you name it. Kalau dilihat-lihat, sebetulnya mereka masih satu scene kok, apalagi kalau pernah sama-sama manggung di Warped Tour. Saya mengenal Fall Out Boy bersamaan dengan Bring Me The Horizon, Asking Alexandria, dan Alesana. Saya juga tahu Simple Plan tak lama setelah mendengar Green Day. The Red Jumpsuit Apparatus (ini playlist konstan saya di Friendster), Panic! At The Disco (because FOB, duh), Secondhand Serenade, My Chemical Romance, Dashboard Confessional, All American Rejects, Avenged Sevenfold, Black Veil Brides, Yellowcard, Pierce The Veil, Sleeping With Sirens, All Time Low... dan mereka ada yang di'titel'kan sebagai Christian rock, instrumental rock, indie rock... tapi semua sama: band yang mengisi masa pubertas saya.

Related image
Tag yourself, I'm the Pretty. Odd. Sumber: facebook.com/LosersThatLikeBandsMoreThanPeople

HEY DADS
 
Saya bisa sebutkan lebih banyak lagi, tapi nanti nggak sampai-sampai ke intinya, hehe.

Yang bikin patah hati dari mendengarkan lagu-lagu band 2000-an adalah, mereka tumbuh dewasa sebelum kita dan itu artinya 1) perubahan genre musik, which is fine by me because it's understandable 2) hiatus atau pergantian personel 😢 3) BUBAR 😭 Nggak perlu lagi saya sebutkan apa yang terjadi pada MCR, kan? Atau Yellowcard? Meski memang beberapa masih memberi harapan kembali seperti Dashboard Confessional (dan FOB tahun 2013, what a time to be alive), tapi tetap saja sedih. Lalu, karena saya mendengarkan mereka terus, saya jadi terjebak nostalgia dan betapa pun mereka memberi pengertian atas perubahan karya-karyanya, I can't help but comparing. M A N I A bagus, tapi Infinity On High lebih raw dan relatable. Brendon Urie suaranya makin kece aja, apalagi Pray For The Wicked terdengar menjanjikan, tapi A Fever You Can't Sweat Out tetap masterpiece. Dan seterusnya, dan seterusnya. Lama-lama, saya sempat merasa jenuh sendiri karena berputar pada fase mereka saja--dari Patrick Stump ke Kellin Quinn, Alex Gaskarth lagi lalu Jared Leto deui, dan lain-lain. Saya juga jadi ingin mendengar karya musisi yang seumuran saya.

Yang berarti, lagu-lagu dari band pop punk pasca-2000-an.

Dan ternyata mereka sudah banyak sekali!

Dari situlah, saya menyempatkan diri untuk melirik band-band yang freshly signed di label pop punk terkemuka (terutama) Amerika, mulai dari mendengarkan lewat YouTube, baca artikel di laman AltPress sampai retweet memes dari Twitter Rock Sound. Tentu saja sebetulnya mereka tidak betul-betul pop punk, hanya memudahkan karena mereka seringkali disebut dalam satu scene. Toh, tidak ada genre yang murni satu saja, kan? Dan ini tidak terbatas dari umur personelnya saja yang muda, tapi juga pembentukan band-nya yang masih baru. Berikut beberapa band yang saya sukai dan sedang banyak dibicarakan, dan memang worth the hype.

1. Waterparks

Sumber: https://www.upsetmagazine.com/features/waterparks-couldnt-give-damn-haters-new-album-entertainment/

THE PARX BOISSS! Band ini meroket secara masif semenjak kehadirannya di label milik duo kembar Good Charlotte, Benji dan Joel Madden. Terdiri dari tiga anggota (dan belum mau ditambah pemain bass) yaitu Awsten Knight, Otto Wood, dan Geoff Wigington, band ini termasuk yang akan saya stan hard terutama jika saya lebih muda dua belas tahun. Like, 'aWsTen iS mY BoYfRiEnD' kind of stan, yang kalau Geoff unggah foto baru di Instagram saya akan squealing lalu memajangnya jadi wallpaper. Namun berhubung mereka seumuran saya dan saya sudah menikah jadi ya... nikmati karyanya saja.

Kalau nggak ada hype tentang mereka, saya juga nggak akan tahu siapa si Awsten rambut biru ini. Majalah AltPress dan Rock Sound langsung menjadikan mereka kover depan sejak rilisnya album full-length mereka, Double Dare dan yang terbaru di tahun ini, Entertainment (mereka sudah punya tiga EP yang judulnya berabjad depan A, B, C). Dari situ saya kepo video klipnya, diputar secara urut dari yang terbaru sampai paling lama, dan wow, they are that good. Just that good. Dalam artian memang musiknya sangat menjual di alternative scene 2018. Catchy, tapi nggak mengorbankan lirik yang unik. Konsep jelas, tiga orang yang kepribadiannya saling melengkapi sehingga gampang banget dibuat bahan fangirling. Dan dari mereka saya tahu pastel punk is a thing. Kalau dulu warna hitam identik banget sama emo scene, sekarang kita bisa jadi warna-warni tapi masih bercerita kisah sedih. Itu yang Waterparks ingin sampaikan--you can be bright and bubble gum-y, but you can still sing a sad song and it delivers well. Emo dengan cara baru, haha. Dan ya, saya menikmatinya.

Contoh lagu-lagu 'sedih' mereka yang dikemas catchy adalah Blonde, Peach (Lobotomy), Crybaby (Entertainment, 2018), Gloom Boys, Royal, 21 Questions, Plum Island (Double Dare, 2017), dan beberapa dari EP mereka... all of their songs are basically happy-sad ones, okay? Awsten sendiri pernah bilang di salah satu interview kalau mereka menolak dibilang pop punk karena sebagai band yang dianggap pop punk, mereka harus bisa memberi kejutan dari yang pendengarnya sangka. Faktor itulah, ditambah kejujuran Awsten (ralat, terlalu jujur!) yang membuat lagu-lagu dan persona Waterparks sendiri seperti namanya, menawarkan kesenangan.

Yang saya dapatkan dan pelajari dari mendengarkan mereka, selain pop punk yang lebih fresh, adalah cara sang vokalis berkarya dan menghadapi respons pendengarnya. Dia ternyata tipe kreator yang sangat produktif--Entertainment dibuat hanya sebulan setelah Double Dare rilis--dan isi kepalanya selalu bergerak lebih cepat dari tangannya, jadi proses kreatif songwriting-nya nyaris sama seperti tips menulis lain: bawa buku catatan ke mana-mana. Barangkali dari situ juga dia dapat rima yang anti-mainstream, seperti 'I'm sweating out potential/but I'm nervous at my central/for you' (Not Warriors, Entertainment (2018)) dan 'I must've caught you from eleven eleven/my lucky number seven' (11:11, Entertainment (2018)). Kebiasaannya 'memadatkan' kalimat panjang dalam tempo yang cepat juga jadi ciri khas yang, jujur saja, love-it-or-hate-it. Saya bagian love it sih, hehe. Line sebelum chorus di Blonde itu ikonik banget sampai dijadikan meme sama Rock Sound.

Sedangkan respons Awsten pada pendengarnya bisa dilihat di akun ask.fm-nya dan Twitter, meski yang Twitter lebih persona. Instagramnya juga Tumblr berjalan banget. Saya suka caranya menjawab pertanyaan yang dinilai terlampau personal seperti, 'This shouldn't be shared on the internet, sorry' dan dia nggak segan memberi tips atau membongkar di balik pembuatan lagu-lagunya. Pertanyaan remeh seperti nama tengahnya (jawabannya Constantine. Awsten Constantine Knight, itu ibunya penulis novel atau gimana ya) juga dijawab dengan ramah. Dan saya paling suka respons dia sama pernyataan, 'lagu ini bikin saya sedih karena pernah mengalami' atau 'I relate so much to your songs' karena jawaban dia adalah, 'That's unfortunate, these are sad songs. I'm sorry it happened to you.' Saya rasa itu adalah jawaban yang tepat.

Awsten, the walking love song. Sumber: https://www.altpress.com/news/entry/waterparks_lucky_people_video

Namun, ya, ada juga yang kurang menyenangkan jika kita mengikuti grup ini, terlebih karena umur (anggota dan karir band-nya) masih tergolong muda. Fans pasti mau tahu saja kehidupan pribadi mereka dan mereka sempat membukanya habis-habisan seperti twitwar ketika Otto mengencani mantan pacar Awsten tak lama setelah mereka putus dan kabar perselingkuhan mantan pacar Awsten (yang satunya lagi) setelah dia menyelesaikan Entertainment. Makin ke sini mereka makin bijak bersosmed sih, jadi nggak terlalu ramai, terutama dengan Otto yang nggak punya akun sosmed (kecuali MySpace) dan status Awsten yang sekarang jomlo. Kalau kamu bisa mengabaikan drama dan konspirasinya, dan cuma mendengarkan karyanya--apalagi kalau kamu sedang into electro pop-punk tanpa bass--coba dengar Waterparks! Siapa tahu besok kamu sudah bersenandung, 'You know I'm sTuPiD fOR yOuUuUuU...' 

2. With Confidence

I stan this Australian band since the day they signed up for Hopeless Record!!! Padahal awalnya saya nggak terlalu familier, sampai akhirnya saya tonton musik videonya setelah mendengarkan Missing You-nya All Time Low (ada di kolom recommendation). Saya pikir, nama band macam apa ini, nggak tuntas begini depannya langsung 'With.' Namun ternyata lagunya enak-enaaak.

Dan yang bikin saya mengikuti mereka dari awal adalah, karena perkembangan mereka terlihat sekali. Saya suka melihat progres from-nothing-to-something  dan mereka menunjukkan bahwa kerja keras tak akan mengkhianati bukan sekadar lirik JKT48. Vokalis sekaligus frontman-nya, Jayden Seeley pernah bilang kira-kira begini, 'Of course we want to be like 5 Seconds Of Summer that's just skyrocketed and famous in no time, but that's not how it works for us.' Mereka betul-betul berjuang untuk akhirnya dinotis Hopeless dan main di Warped sampai tur keliling Eropa, dan semua usaha itu terlihat jelas dari hasil yang mereka dapatkan sekarang.

Lagu-lagu mereka adalah lagu pertama yang saya rasa jadi pembaharuan untuk library musik pop punk saya yang jadul. Ada rasa ATL-nya yang bikin saya langsung hooked, tapi ada juga bagian yang mengatakan, 'ini loh, pop punk 2010-an.' Faktor utama mengapa saya menyukai musiknya adalah karena liriknya. Kalau Waterparks lebih condong ke rima dan warna (because Awsten is a color synnie, perkiraan saya sih personality/grapheme/sound), penulisan lagu WithCon ditandai dengan pengandaian. Entah itu tokoh (Voldemort, Godzilla), figur (Keeper, Archers), benda (Keys, Dinner Bell), sampai waktu dan tempat (Waterfall, Long Night, London Lights). Mereka juga fokus di mental illness awareness dengan lirik seperti 'Despite the weather/it gets better/you won't do this alone' (Voldemort, Better Weather (2016)). Banyak lagunya yang bercerita tentang cinta, tapi lebih ke patah hati yang digambarkan sendu, kalau ibarat novel jadi bikin baper haha.

Another songpic. Dari lagu Voldemort, menampilkan Winona dan Satrya dari 28 Detik haha

Para anggota band-nya juga masih seumuran dengan saya, jadi dari lirik sampai tingkah laku mereka bisa relatable. Sebelum teken kontrak dengan label pop punk Amerika itu, mereka sudah buat EP yang kualitas lagunya menyamai album studio dan sering mengisi kanal YouTube mereka dengan lagu-lagu kover (Quicksand/Things I Can't Change is a gem). Jadi secara nggak langsung saya (dan pendengarnya) dibuat akrab bahkan sebelum mereka punya label. Saya tahu garasi tempat mereka latihan itu milik rumah orangtuanya Josh Brozzesi, drummernya. Gitarisnya, Inigo del Carmen, ternyata separuh Filipina. Mereka semua sudah punya pacar long-term. Dan ada pergantian gitaris dari Samuel Heynes ke Luke Rockets.

Image result for with confidence band
Fetus Ini and Jayden playing Skinny Love cover on YT. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=Uuw7TqC1X4M

Kalau kamu baru googling mereka sekarang (yang langsung ketemu, btw, karena awal saya stan mereka tiap ketik With Confidence/With Confidence Band yang keluar semacam jurnal matematika atau kelas public speaking. See what I mean by from nothing to something?), mungkin kamu akan tahu sekarang mereka hanya bertiga. Sebuah kasus yang bertepatan dengan gerakan #MeToo mencuat dan membawa sang gitaris, Luke Rockets, sebagai tersangka kasus pelecehan seksual pada anak di bawah umur. Gadis itu masih 15 tahun dan tentu saja fans WithCon, jadi ketika Luke menghubunginya dia mengira kalau dia fans paling beruntung sedunia. Sampai akhirnya Luke membawa-bawa topik yang tidak seharusnya, cenderung memaksa, bahkan ketika tahu anak itu masih di bawah umur. Setelah postingan di Facebook itu ramai dan merambah ke Twitter, besoknya akun WithCon mengumumkan Luke dikeluarkan dari band.

Sebagai yang sudah mengamati mereka sejak EP dan tahu perkembangan pembuatan debut album  Better Weather, saya patah hati dan nggak nyangka yang seperti ini bisa terjadi. They're talented, hard-working boys. They deserve to be recognized and famed. Namun, satu orang merusak segalanya hingga akhirnya saya sempat ikut arus unstanned. Mungkin saya tak akan mendengarkan mereka lagi. Mungkin setelah ini lagu-lagunya tak lagi berarti sama. Memang ada dampak yang cukup besar dari peristiwa itu, karena mereka langsung membatalkan tur dan tetap di Amerika (yang berarti nggak ngapa-ngapain. Pulang nggak, tur juga nggak) dan akhirnya mereka vakum dulu dari bermusik. Syukurnya itu hanya terjadi dengan singkat, karena sekarang mereka mulai mengisi acara terutama yang berkaitan dengan mental ilness awareness.

Selain kerja keras dan cara menulis lirik yang identik dengan pengandaian, saya juga belajar bahwa stuff happens and life must go on. Cara WithCon yang langsung bertindak dengan memecat Luke Rockets sebetulnya patut dipuji, karena mereka tidak mentoleransi hal seperti itu ketika mereka bertujuan untuk menciptakan lingkungan band yang aman. Mereka juga memberi pengertian pada pendengarnya bahwa mereka butuh waktu untuk kembali bermusik karena hal seserius ini harus ditangani sebaik mungkin. Lalu tiap statement yang dikeluarkan Jayden, Josh, dan Inigo juga terasa personal. Mereka betul-betul memanfaatkan waktu untuk memberi pernyataan yang bijak, dan saya belajar dari sini bahwa sebagai band dengan banyak penggemar remaja, menjadi contoh yang baik itu harus dilakukan. Saya rasa itulah salah satu kualitas WithCon. 

3. ONE OK ROCK

Sebelum kamu marah--tenang, tenang dulu. Iya, saya tahu OOR sudah lebih terkenal duluan di Jepang, sudah punya banyak penggemar dari yang suka J-Rock sampai weeaboo, dan sudah mengeluarkan banyak album bahkan berkolaborasi dengan musisi papan atas. I'm talking about westernized, Fueled By Ramen-signed ONE OK ROCK. Ya, mungkin saja ini tentang OOR yang kamu kurang sukai karena mereka sudah keluar dari jalur genre sebelumnya, sudah beralih ke lirik yang full English, dan menjadi band pop punk 2010-an seutuhnya alih-alih 2000s J-Rock. Namun buat saya, ini adalah fase terbaik mereka.

Mengapa terbaik?

Image result for one ok rock taka rock sound award
First and foremost, THIS GLO UP. Sumber: https://twitter.com/rocksound/status/947521487719878661

Satu, this is their dream comes true. Bermain di ranah yang lebih Internasional dan memiliki pendengar dengan jangkauan lebih luas adalah tujuan mereka selama ini, setidaknya dari yang diucapkan Taka sang vokalis (katanya, 'Ya... emang selama ini gue bikin lirik Bahasa Inggris buat apa lagi kalau bukan biar dikenal dunia?'). Dan Taka nggak pernah bilang mereka spesialisasi J-Rock. Malah, sekarang dia lagi mau belajar hip-hop biar penggemar hip-hop/RnB bisa dengar musik mereka juga. Justru katanya, 'Musik Jepang itu memang akarnya kami, tapi kami juga tahu kalau segmentasi pendengarnya terbatas. Kami ingin berkarya hingga seluruh dunia bisa mendengar kami.' Betul-betul ambisius khas manga Jepang ya, hehe. Kalau Taka itu Kapten Tsubasa, mungkin sudah teriak-teriak 'MUSIK ADALAH TEMAN!' (efek baru nonton Captain Tsubasa 2018).

Dua, lagunya memang jadi enak-enak banget! Setidaknya buat saya, sih. Soalnya saya juga mendengarkan album Jepang mereka, dan saya pikir, 'ini nanggung banget.' Mana Bahasa Inggrisnya juga sepotong-sepotong dan kurang kontekstual (mungkin pengaruh alihbahasa). Pokoknya jadi kurang bisa menikmati. Padahal, pengucapan Bahasa Inggrisnya keren banget untuk orang Jepang yang dari lahir tidak mengenal huruf L. Dan di album Amerika terbarunya, Ambitions, pengucapan Taka makin mulusss nggak berasa Jepang-Jepangnya. Liriknya juga makin kontekstual dan mudah dipahami. Yang paling kelihatan pasti live performance-nya, karena itulah yang bikin dia dilirik John Feldmann aka Feldy hingga mereka masuk naungan label yang juga membawa Paramore dan Panic! At The Disco itu. Soal kolaborasi? Siapa lagi band Jepang yang dalam satu album bisa nyanyi bareng 5SOS, Alex Gaskarth, sampai Avril Lavigne? Di album sebelum Ambitions, 35xxxv, Kellin Quinn juga adu tinggi-tinggian nada bareng Taka di track Paper Planes. Kurang kece apa mereka???

Tiga, they grooow, man. Usia saya dan Taka dkk juga nggak begitu jauh, dan dari mereka saya belajar untuk terbuka dengan hal baru dan selalu berani melangkah di luar zona nyaman. Apakah ketika mereka mendarat di Amerika semua orang langsung mengenalnya? Tidak. Apakah saat akhirnya mereka tampil di APMAs penampilannya terbilang spektakuler? Tidak juga. Namun inilah yang sepertinya mengukuhkan pendapat Taka tadi, bahwa sebanyak apa pun penggemarnya dulu, mereka masih segmented. Dari APMAs, yang tadinya belum tahu OOR jadi tahu. Dari interview yang Taka jawab sendiri dengan Bahasa Inggris padahal ada penerjemah, penggemar baru jadi paham betapa hebat kerja keras mereka. Proses inilah yang saya nikmati, bahwa target untuk mimpi harus terus berjalan dan sesukses apa pun seseorang jangan sampai dia melupakan belajar. Jepang banget ya, kalau dipikir-pikir. Always studying, always learning.

Lagu yang saya suka dari album Amerikanya... semua, haha. Namun kalau kamu penggemar mereka sejak album pertama, ada We Are (Ambitions, 2016) yang paling mirip dengan napas J-Rock. Pendengar ballad macam Heartache saya rasa bisa menikmati tribut Taka untuk ayahnya di Hard To Love (you can listen to it without peeking through AZLyrics! Taka's pronunciation is just so good) atau soal homesick-nya di One Way Ticket. Terus nih ya, yang mau dengar curhatan Taka soal kalian yang protes kalau OOR ganti genre, dengerin tuh Start Again, I Was King dan Bombs Away.

4. I DON'T KNOW HOW BUT THEY FOUND ME (idkhow)

Related image
Band mesin waktu. Sumber: https://dontboreus.thebrag.com/interview-dont-know-hung-dallon-weekes-ryan-seaman/

Baik, yang ini tampaknya akan agak sulit dijelaskan. Ya, yang kamu baca barusan itu memang nama two-piece band yang sering disingkat idkhow atau IDKHBTFM. Genre-nya juga lebih ke 80s electrorock music karena keterbatasan anggota yang menyebabkan teknologi mengambil alih. Mereka bisa masuk pop punk scene karena Dallon Weeks (vokal, bass) adalah mantan tour bassist/one-album member dari Panic! At The Disco dan Ryan Seaman (drum) pernah main untuk Falling In Reverse. Here's what's special about them: mereka belum punya label, mereka belum mengeluarkan album, mereka cuma main di small venue, tapi sudah jadi kover depan Rock Sound isu terbaru. Mereka adalah band rumahan yang mengerjakan segalanya dengan DIY dan percaya dengan the power of followers. Tanpa fans dan hard-stans mereka, idkhow mungkin masih menjadi 'I don't know' bagi banyak orang. Karena itu yang mereka inginkan: besar dari fans karena musik mereka, bukan karena nama dari zaman dahulu (cue to Panic! and FIR).

Kalau kata Dallon, dari awal dia memang tertarik sama musik dari tahun 80an dan ingin punya proyek yang berhubungan dengan itu. Akhirnya dia mengajak sahabatnya, Ryan, dan membentuk idkhow dengan bantuan istrinya Breezy Weeks untuk masalah recording dan merch. Konsep band ini sendiri jelas banget, betul-betul kayak project. Ceritanya di tahun sekarang ada anak yang disuruh bersihin gudang sama ibunya (Breezy jadi suara ibunya). Sambil bete, dia bongkar-bongkar kardus dan ternyata di situ ada VCR dan kasetnya. Salah satu kasetnya berlabel IDK warna kuning. Pas dia putar, ternyata IDK adalah band yang ikut ajang pencarian bakat di tahun 1983-an, dan dari situ karir mereka berlanjut. Gemas banget konsepnya kalau buat saya, haha. Kok kepikiran aja bisa jadi 'band yang ikut ajang pencarian bakat di tahun 80an.'

Band ini memang baruuu banget, tapi usia anggotanya sudah masuk om-om, haha. Mengingat sebagian besar penggemarnya adalah remaja, agak aneh juga ya me-fangirling-kan Dallon yang sudah punya dua anak bahkan lebih tua dari Brendon Urie? Namun baik Dallon maupun Ryan ini memang awet muda dan punya charm tersendiri, sih. Apalagi idkhow ini sangat terkonsep bahkan sampai ke penampilan dan attitude mereka di panggung. Kayak... Black Veil Brides mungkin ya, karena pakai makeup? Atau A7X yang pakai nama samaran dan tiap anggota punya quirk-nya sendiri? Dan ciri khas dari idkhow baik lagu atau anggotanya adalah sarkasme. Serius, mereka geje agak absurd dan sarkastis, membalut lagu kebencian dalam nada catchy yang bikin saya guilty pleasure nyanyinya. Simak aja track Choke yang bikin ngakak tapi pengin singalong juga dan Nobody Likes The Opening Band (seeeee?). Meski begitu, Dallon dan Ryan adalah orang-orang yang jujur dalam berkarya dan bertutur, jadi meski sarkastis kita tahu bahwa itu... betulan sarkastis haha. Nggak ding, memang kepribadian mereka suka bercanda gitu.

Mereka sudah membawakan lagu-lagu lain selain tiga track yang rilis di YouTube (satu lagi berjudul Modern Day Cain) tapi belum juga merekam album. Alasan Dallon adalah, karena mereka band DIY, mereka harus mempersiapkan semuanya secara matang. Memangnya nggak ada label besar yang melirik? Dengan kemunculannya seperti ini, ya jelas ada, tapi ditolak oleh mereka. Mungkin karena Dallon dan Ryan yang berasal dari band besar berlabel sudah tahu bagaimana proses kreatif mereka bisa terbatas karena ada campur tangan pihak managemen atau alasan lain yang berhubungan dengan itu. Saya salut banget sama idealisme mereka ini. Dan ini nggak datang begitu saja, tapi dari pengalaman, sehingga ketika mereka mengeluarkan karya ideal ini mereka sudah siap. Sebelum Panic!, Dallon main untuk The Brobecks yang katanya juga sempat dilirik beberapa label, tapi karena label itu UUD (ujung-ujungnya duit/Dallon) saja yang diambil, Dallon menolak. Dari situ, setidaknya saya jadi sedikit mengerti alur pikirannya.

Image result for i don't know how but they found me
Ryan, sehat? Sumber: http://www.soundinthesignals.com/2018/03/i-dont-know-how-but-they-found-me.html

Fans banyak, idealisme jalan, memang kualitas musiknya gimana? Mind blowing, I told you. Suami saya termasuk yang sedang tergila-gila dengan musik dan konsepnya karena unik. Baik, wajah Dallon dan Ryan yang ganteng memang sudah bawaan lahir (dan ini yang jadi faktor X buat saya, haha), tapi untuk menggaet pendengar laki-laki dibutuhkan musik yang keren, kan? Pujian tidak hanya datang dari penggemar, tapi juga beberapa musisi yang tadinya malah nggak tahu siapa idkhow itu (terus mereka yang, 'ooooh Dallon dan Ryan!'). Lalu suara Dallon. Mungkin karena dari awal saya tahunya Dallon itu pemain bass, jadi saya nggak pernah mengira bahwa suaranya MEMANG. SEBAGUS. ITU. Keluarnya dia dari PATD terbukti jadi keputusan yang tepat, karena sekarang talenta dan skill-nya jadi bisa lebih dihargai. Way to go, IDK!

Jadi pengin coba makeup glitter dots kayak Dallon juga, ah...

Sebetulnya masih banyak yang ingin saya tulis dan beberapa di antaranya masih dalam wishlist. Saya belum mendengarkan State Champs, As It Is, Milkteeth, Palaye Royale (yang satu ini unik banget, mengingatkan saya pada Panic! zaman masih berempat), Neck Deep... banyak juga ya ternyata, haha. 21 Pilots tidak saya sertakan karena mereka sedang hiatus, tapi saya suka musik mereka. Mungkin kalau sudah mendengarkan lebih banyak band pop punk 2010-an, saya akan tambahkan lagi di sini.

Mengeksplorasi band baru ternyata menyegarkan, terutama buat saya yang terjebak di tahun 2004-2008. Saya jadi bisa lebih relate dengan lirik dan anggotanya, mengambil hikmah atau pelajaran yang bisa saya ambil, dan tentu saja lebih kontekstual dengan masa kini. Jadi ingat kata Mike Shinoda saat dia diminta bereaksi terhadap komentar remaja yang mendengarkan Linkin Park--mereka rata-rata menyukai lagu-lagu lama LP dan menganggap the new pop-y stuff is garbage. Justru, ketika itu Mike malah menertawakan 'masterpiece' mereka, In The End! "Di tahun 2000, lagu seperti ini bisa jadi hit. Namun jika kami membuat lagu yang sama di tahun sekarang, saya yakin tidak akan ada yang mau mendengarkan. Lagu seperti itu payah sekali." Dan saya, sesuka apa pun dengan In The End, mau tak mau jadi setuju.

Sebagai penutup:

Live everyday like it's Warped Tour. | Warped tour, Music bands, Music
I'll just leave this here, since it's last year of cross-country Warped Tour. Sumber: https://quotesurf.com/pop-music-quotes

No comments:

Post a Comment