Saturday, September 29, 2018

Di Balik Layar Un Treno Per Non So - Kereta (bukan) Tanpa Tujuan


(pengin belajar gambar lagi, deh... kayaknya bagusan ilustrasi 28 Detik. haha)

Seperti di buku pertama, saya baru berbagi cerita tentang pembuatan karya kedua saya, Un Treno Per Non So di blog ini setelah novelnya rilis berbulan-bulan yang lalu. Kalau dulu bertepatan dengan #LiveInterview di Twitter, sekarang saya sedang mengadakan giveaway contest berhadiah pernak-pernik bertema salah satu unsur di novelnya, yaitu Hujan Emas atau La Pioggia d'Oro. Caranya mudah, cukup foto buku Un Treno (atau UTPNS? Salah sendiri kasih judul panjang-panjang haha) dan tulis resensinya di caption, sertakan tagar dan tag IG saya @coverlylove_id. Lebih lengkapnya tinggal ke postingan Instagram saya saja deh, yang paling terbaru :D

Taraaa, ini hadiahnya! Didesain eksklusif dan instagrammable ;)

Kalau harus cerita dari awal, jujur saja saya bingung memulainya dari mana, karena ada begitu banyak kejadian yang mewarnai proses penulisan novel ini. Di 'ucapan terima kasih' sebetulnya sudah ada salah satunya, yaitu naskah dari tahun 2012 yang sempat diikutsertakan dalam sebuah lomba menulis, lalu tidak lolos dan akhirnya terabaikan begitu saja. Bertahun kemudian, saya buka lagi file itu dan membacanya... lalu berpikir, "Jika diedit di sana-sini, rasanya bisa dikirim ke penerbit." Kemudian saya melakukannya dan, alhamdulillah diterima.

Itu baru cerita pertama.

Idenya sendiri datang dari sebuah lagu, yang judulnya saya pakai untuk novel ini. Lagunya berbahasa Italia dari band asal kota Turin, Melody Fall. Saya dikenalkan band ini oleh teman kuliah yang saat itu kami sedang mengerjakan tugas kelompok di kosannya. Berhubung lagunya pop punk, saya jadi tertarik, apalagi bahasanya juga unik. Salah satu lagunya yang berkesan adalah Un Treno ini, bercerita tentang sebuah kesempatan yang diambil tanpa pikir panjang. Khas pop punk yang screw it, I'm getting out of my lame town for new opportunity! banget :D

Nyimpen foto ini dari zaman kuliah, haha. Jadi lupa sumbernya dari mana. Sekarang Pier dan Mark diganti dengan anggota baru (btw, Pier sudah jadi pemilik B&B--sama kayak Anna dan Matteo Finello, hanya lebih muda!)

Setelah saya cari lirik lengkap plus artinya, ada yang membuat saya penasaran. Mengapa mengambil kesempatan diibaratkan dengan menaiki kereta? Berhubung saya berteman dengan para personilnya di Facebook, saya kepo saja linimasanya, hehe. Ternyata kereta adalah salah satu transportasi utama di Turin, dilihat dari status dan aktivitas para anggota band itu. Buat saya, ini menarik sekali. Dan ini membuat saya tambah tertarik pada kearifan lokal Italia terutama dalam tulisan. Dari situ juga, awal kisah novel ini bergulir meski masih sangat mentah.

Dalam menuliskan ulang novel ini--yang sekarang terbit bukanlah draf yang saya tulis enam tahun lalu--selain dari lirik lagu Melody Fall, saya banyak terinspirasi dari buku terjemahan Italia yang pernah saya baca. Ada tiga buku, yaitu Bianca Come Il Latte, Rossa Come Il Sangue - White As Milk, Red As Blood (YA, Bhuana Sastra), Mi Ami e Non Lo Sai (YA, GPU) dan Va' Dove Ti Porta Il Cuore (Sastra, GPU). Setidaknya dari lirik dan novel-novel tadi, saya menangkap beberapa persamaan, yang nantinya juga saya coba letakkan ke Un Treno.

- Pengandaian
Dari buku-buku itu, saya melihat sepertinya orang Italia senang sekali membuat pengandaian terutama dalam mengungkapkan perasaan. Misalnya, tanaman mawar liar yang batangnya menjalar seiring usia, juga warnanya yang makin merah pekat, menjadi isi salah satu surat seorang nenek untuk cucunya di Va' Dove (maaf ya disingkat-singkat, hehe) yang--mungkin--menggambarkan kedewasaan. Judul White As Milk saja sudah memberitahu kita tentang pandangan sang tokoh utama terhadap emosi yang berhubungan dengan relationship. Lalu di Mi Ami, yang juga menggunakan unsur kereta, berkisah tentang film-film yang memiliki arti lain yang kita tidak sadari. Tidak heran pula mengapa Melody Fall menulis lagu Un Treno.

Dari semua pengandaian itu, pengandaian warna adalah yang paling saya ingat. Di lagu Melody Fall yang lain berjudul It Can't Be Over (yang ini berbahasa Inggris) ada lirik the colors seem to fade. Warna apa yang memudar? Kalau dilihat dari konteks liriknya, sepertinya warna itu berarti perasaan si narator pada kekasihnya yang mulai menghilang. Ketika seorang pembaca bilang bahwa di Un Treno ada unsur warna-warnanya, saya senang sekali karena ternyata ada yang notice! Saya coba adaptasi dan sarikan dari lirik lagu itu dan buku-buku di atas.

- Kalimat yang panjang
Mungkin di buku berbahasa Italia lain ini tidak berlaku. Mungkin juga karena faktor terjemahan. Sayang ya, buku yang saya baca hanya tiga ^^" tapi setidaknya dari sana saya menangkap kalimat bersayap yang superpuitis juga pembuka yang bikin kita bertanya, sebetulnya cerita ini tentang apa? Namun barangkali di situlah seninya. Dan saya juga menerapkan itu di Un Treno, meski awalnya saya sempat berpikir, 'apa ini terlalu panjang?' Walau begitu, saya cukup puas saat sudah menyelesaikannya karena kalimat dan pembuka di tiga novel Italia tadi masih lebih panjang :P Mudah-mudahan saja ini membuat cerita Un Treno terasa lebih otentik (?)

Kover terjemahan Bahasa Indonesia White As Milk. Sudah difilmkan di Italia, dan digadang-gadang sebagai 'Italian's The Fault in Our Stars' :O Sumber: http://penerbitbip.id/book/white-as-milk-red-as-blood/

Cerita ketiga--proses setelah menyerahkan naskah. Yang ini pernah saya ceritakan di Instagram. Juli 2016, saya dapat kabar bahwa naskah ini diterima dan sebentar lagi akan dikirimi catatan revisi. Pas sekali dengan kepindahan saya dari Bandung ke Banyuwangi, mengikuti suami yang dinas di sana. Saya yang baru satu kali pindahan merasa overwhelmed, culture shock, plus baru menikah juga. Begitu catatan revisi sampai, saya ternyata positif hamil.

Dengan tenggat sampai Agustus, saya menyelesaikan revisi dan kontrol kandungan ke dokter. Qadarullah kandungan saya saat itu tidak berkembang, sehingga harus digugurkan. Akhirnya saya minta ke editor untuk memundurkan deadline dengan alasan kesehatan. Selain fisik, emosi saya terkuras, dan itu sangat berpengaruh saat saya menulis.

Saya ingat, itu kali pertama saya kena serangan panik dan cemas sampai menangis tiba-tiba.

Kacau? Jelas. Luar dan dalam. Berkat pertolongan Tuhan dan dukungan suami, setelah energi sudah kembali akhirnya saya melanjutkan revisi. Namun... dengan menuliskannya ulang. Yap, rewrite. Saya catat bab apa bercerita tentang apa, lalu saya ubah semuanya tanpa menghilangkan esensi utamanya. Ada tokoh yang tiba-tiba muncul di tengah cerita, saya hapus. Kurang deskripsi, saya tambahkan. Di fase ini saya juga membaca novel bertema travelling dan blog tentang kehidupan orang-orang di Torino. Saya bersyukur menuliskannya dengan hati yang sudah senang lagi.

Alhamdulillah, awal September saya bisa menyelesaikan naskah ini dan Maret 2018--yang seharusnya saya lahiran jika kandungannya sehat--buku inilah yang lahir.

Whew, panjang juga ya, haha. Tunggu dulu, masih ada cerita yang lainnya! *siapin camilan*

Judul
Un Treno Per Non So, jika diartikan secara harfiah, adalah 'kereta menuju tidak tahu.' Kalau dalam Bahasa Inggris a train to I don't know. Rasanya kurang pas, ya? Maka judul Bahasa Indonesianya di sini menjadi 'Kereta Tanpa Tujuan' karena memang kita tidak tahu tujuan kereta itu ke mana. Dalam naskah ini, saya menerjemahkannya sebagai kebingungan tokoh utama akan tujuan hidupnya, tapi lama-lama dia sendiri menyadarinya setelah menjalani hari-hari di Turin dan bertemu dengan banyak orang-orang baru. Dan, ya... jadilah buku ini. Judul ini tidak diubah setelah masuk penerbit, dan saya pun sudah merasa judul ini sesuai.

Kover/Sampul 
This may be one of the most fun parts in this book's behind-the-scene. Jadi, setelah catatan revisi diberikan, editor menghubungi saya dan langsung bilang, 'Kalau desain sampulnya mau sama yang ini, nggak?' sambil memberikan sebuah Instagram handle.

Tebak siapa? Si, @sukutangan!

Dulu (berarti sekitar Juli-Agustus 2017) portofolio sampul buku Sukutangan masih bisa dihitung jari. Kover buku yang didesainnya pun tergolong 'sastra' dan dari penerbit yang buku-bukunya tampak 'berat.' Memang nyeni banget, khas novel sastra pokoknya. Sisanya karya-karya ilustrasi yang masuk pameran, sedikit sureal, ditambah caption-nya yang anak seni banget (kayak apa ya... ya pokoknya begitulah). Lalu sepertinya IG Sukutangan saat itu masih berupa IG pribadi Mas Genta, tapi IG Mbak Ndari juga sering di-tag di foto-fotonya. Duh, kepo banget ya, saya? Haha maafkan ^^"

Saya lalu tanya ke editor, "Itu nggak pa-pa Sukutangan ngedesain buku YA? Di portonya nyastra gitu." (saat itu Un Treno masih dimasukkan ke YA, tapi di akhir jadi ke lini Teenlit) dan editor saya jawab, "Nggak pa-pa kali, mereka juga udah dikontrak buat desain dua buku YA terjemahan, kok." Akhirnya saya percaya karena memang karya-karyanya eye-catching sekali, dan karena di tiap caption desain kover Sukutangan selalu cerita mengapa dia membuat kover itu. Just right up my alley! Saya senang desain kover yang well-thought.

Editor saya berkata lagi, "Oke, kalau gitu nanti mereka baca naskahnya, ya."

Saat itu naskahnya masih yang mentah, yang cupu, belum di-rewrite. Duh, saya malu, aslinya. Meski memang saya bilang saya terkejut, tapi saya oke-kan saja. Nggak berapa lama, editor menghubungi lagi dan bilang Sukutangan sudah menyiapkan tiga konsep kover.

I was simply blown away by how they work. Sayangnya chat itu terhapus karena saya ganti device, kalau masih ada akan saya tunjukkan betapa detailnya mereka menjelaskan tiap filosofi desainnya. Konsep pertama mengambil dari judul 'kereta tanpa tujuan' sehingga dibuatlah rel yang tanpa ujung dan kereta yang hanya berjalan memutar. Lalu, karena saya bilang saya ingin tipografi dan warna-warni hangat, dibuatlah teks dari rel itu, dan di sekelilingnya terdapat rumah tinggi warna-warni yang memang lazim ditemukan di Turin. Sungainya juga pas sekali ditempatkan di kovernya. Konsep kedua dan ketiga adalah gambar Alita dan Pier, hanya beda lokasi dan angle. Setelah memilih dua dari tiga konsep, Sukutangan menyelesaikan sketsanya dan mengirimkannya kembali pada saya dan editor. Dan ya Tuhan, kami langsung sepakat kover pertamalah yang dipakai karena hasilnya cantik banget! Sesuai dengan konsep dan yang saya pikirkan.

Saya sangat bersyukur bisa mendapat desainer kover yang tepat untuk buku ini. Terima kasih sekali lagi, Mas Genta dan Mbak Ndari! Mereka juga ramah orangnya :D

Versi cetak yang beredar sekarang. Dari versi yang saya jadikan wallpaper, hanya ada perubahan di letak nama penulis dan ditambah logo Teenlit

Proses ini berjalan cukup cepat dan lancar, makanya saya kagum sekali. Nah, kover ini juga salah satu pemicu saya untuk rewrite, karena saya ingin vibe novelnya lebih sesuai dengan kovernya meski mereka membaca naskah yang lama. Caranya, saya pasang kovernya sebagai wallpaper desktop, lalu ketika saya menulis, saya memandang kover itu dulu kemudian lanjut menulis hingga nuansanya terasa cocok. Jadi kebalik ya--kover dulu, baru naskahnya!

Karakter
Di naskah pertama, tokoh-tokohnya kurang konsisten, bahkan ada yang ujug-ujug muncul. Suara Alita juga bagi saya tidak seragam tiap babnya. Namanya dulu masih Anita--saya ganti karena tahu-tahu kurang sreg saja--dan sebetulnya masih ada hubungannya dengan Rohan di 28 Detik. Saya ubah itu semua karena saya lebih suka cerita ini menjadi standalone yang terpisah.

Alita Ardina

Sadar atau tidak, saat saya menulis ini, sebetulnya saya juga sedang menggali ingatan saya dari pengalaman mengajar SMP dulu. Ada satu murid yang pernah cerita bahwa ibu kandungnya meninggal karena sakit dan ayahnya menikah lagi. Ibu tirinya sudah memiliki satu anak laki-laki dan ternyata anak itu kakak kelasnya! 'Hidup aku udah kayak FTV, Miss,' katanya waktu itu. Dia juga bilang, bahwa sebetulnya dia sangat pendiam di rumah (karena anaknya tergolong supel di sekolah). 'Aku ngerasa sekarang ayah aku pilih kasih. Yang dipentingin istrinya terus sama anak tirinya. Males banget sampai ketemu orang itu di sini.' Dia mengaku kalau kakak tirinya itu diantar jemput dengan mobil sementara dia sendiri harus jalan kaki. Namun, saat saya tanya apa ibu tirinya berlaku kejam kepadanya, dia jawab nggak. Tetap saja, dia tidak suka ibu tirinya.

Setelah mendengarkan ceritanya, saya sempat menimpali bahwa bisa jadi ibu tirinya berniat baik padanya. Namun dia jawab dia tidak peduli, pokoknya dia benci. Menuliskan kisah Alita dari sudut pandangnya seperti menjadi elaborasi dari jawaban saya tadi, haha. Saya ingin menyampaikan pada murid itu bahwa suatu saat dia akan tahu yang ibu tirinya lakukan kepadanya, dan bahwa kakaknya pun orang baik, dan dia akan melihat segala sesuatunya dengan cara baru dan berbeda. Karena tidak sempat, saya coba taruh di sini saja. Semoga bisa sampai.

Lalu, Alita ini biasa sekali menurut saya. Wajahnya khas Indonesia, berat badannya naik turun dan cenderung berisi meski tidak berlebih, serta cukup santun. Beda dengan Rohan yang memang di-setting cantik dan sebagainya, haha (masih lebih menyebalkan Rohan, kayaknya (?))

Waktu namanya masih Anita, teman saya Rifqi Ramdhani pernah menggambarkannya. Seperti inilah Alita.

Pierandrea Barolo

Nama Pier diambil dari bassist Melody Fall, Pierandrea Palumbo, dan saya sempat men-DM dia untuk izin menggunakan namanya (dan dibalas! Tapi habis itu udah, saya juga malu kalau lihat message-nya lagi hahaha). Barolo-nya saya ambil dari nama wine (entah kenapa? Saya juga nggak tahu kenapa harus Barolo, impromptu banget). Meski begitu, saya tidak mengambil sosoknya untuk Pier Un Treno ini, hanya sebagian kecilnya seperti sama-sama bassist. Rambut keriting, mata hitam, tubuh jangkung dan pembawaan yang tenang saya ambil dari seorang pemuda yang pernah saya temui waktu saya SMP dulu di Carrefour Tamini Square, haha!

Ceritanya saya dan keluarga sedang berbelanja di supermarket itu, lalu di tempat nugget saya melihat dia dan ibunya--yang berwajah Arab--serta adiknya yang masih anak-anak yang mukanya mirip ibunya. Dia bawa troli, adiknya di dalam troli, ibunya mengambil belanjaan. Ganteng banget! Saya nggak tahu umurnya berapa, mungkin SMA atau kuliah karena dia tinggi. Saat trolinya sedang di dekat troli saya, saya sengaja bilang dengan suara keras ke ayah saya, "Pa, habis ini ke Gunung Agung, ya." dengan harapan dia dengar dan ikut ke sana juga xD

Ya Allah, saya ngetiknya sambil malu gini, hahaha.

Lalu, saya menunggu ayah saya bayar di kasir bersama mama saya. Pemuda itu juga lagi bayar. Mama saya nunjuk diam-diam, "I, orang itu ganteng, ya." Saya balas, "Iya, tadi kan ngelihat duluan di tempat nugget." dan saya juga jadi ngelihatin terus meski nggak langsung, agak-agak nengok ke arah lain gitu :P Selesai bayar, ayah saya menepati janjinya ke Gunung Agung.

Kebiasaan saya saat memasuki tobuk itu bukan langsung lihat buku, melainkan majalah. Saya yang sedang tergila-gila dengan sepakbola langsung mencari majalah FourFourTwo atau tabloid Soccer, berharap ada yang sudah terbuka. Saat saya lagi cari, tiba-tiba ada yang datang di sebelah saya, mengambil satu majalah wanita, membukanya, lalu dia berdeham.

Saya menoleh, dan ternyata ORANG ITU BENERAN DATANG KE GUNUNG AGUNG!

Saya freak out. Saya masih SMP, baru naksir orang satu kali, dan sekarang ada cowok seganteng itu di sebelah saya??? Dan dia mendengar saya ke Gunung Agung dan ikut??? Saya yang panik berujung pada aksi kabur ke area novel, ngumpet di sana sampai wajah saya tak terasa panas lagi dan jantung saya mulai berpacu dengan normal. Tapi kenapa dia baca majalah wanita, ya?

Jika saja saat itu saya lebih berani, mungkin skenario lain akan terjadi. Mungkin Pierandrea Barolo tidak akan tercipta dan buku ini tidak akan ada? Dan tentunya saya lebih bersyukur dengan keadaan sekarang, dengan suami dan kehadiran novel ini :)

Anna dan Matteo Finello

Ketika menulis tentang pasangan pemilik B&B Una Stanza della Felicita ini, saya membayangkan dua orang yang saling mencintai, tak pernah bosan dengan satu sama lain, penuh kehangatan. Namun sudah, itu saja. Di versi rewrite, saya melihat lebih dalam lagi--bahwa kebijaksanaan dan pemikiran terbuka mereka datang dari pengalaman. Bahwa alasan mereka menjadi orangtua inang adalah penantian. Bahwa menjadi pasangan seumur hidup membutuhkan perjuangan, meski suratan sudah menetapkan berjodoh. Saya belajar banyak dari mereka, dan mereka menjadi tokoh yang membuat hati saya gembira saat menuliskan ulang novel ini. Semoga pembaca juga bisa merasakannya.

Mami

Karakter Mami terinspirasi dari orangtua murid saat saya mengajar SD dulu. Jujur, saya sempat menjadi salah satu orang yang berpendapat wanita karir lebih cenderung mengabaikan anaknya karena sibuk di luar rumah. Setelah mengajar, alhamdulillah pikiran saya lebih terbuka. Saya saksikan sendiri wanita-wanita hebat yang membantu suaminya bekerja tapi tetap memperhatikan anaknya dengan baik. Anak-anaknya bahkan menjadi lebih supel dan respect. Saya melihat Mami adalah tipe ibu yang seperti itu--tidak meninggalkan jati dirinya dan tetap merawat Alita meski dia tahu Alita menjauhinya. Here's to all caring mothers.

Di sini saya--niatnya--memasukkan pendapat bahwa kita bisa menemukan sosok ibu di mana pun, bukan hanya dari ibu kandung. Saya punya tiga tante yang saya anggap seperti ibu saya sendiri, dan mereka mengajarkan betapa menjadi wanita mandiri dan pengertian itu bukanlah hal yang mustahil. Saya ingin Alita menemukan 'ibu' dalam diri Anna dan Mami.

Teman-Teman Alita di Liceo Nikola Tesla

Felippe, Stefania, Alizia, Chiara, dan Tav--yang juga sesama pelajar asing--menjadi bumbu tersendiri saat saya menulis ini. Ketika Alita lebih dominan dengan suasana muram saat dia bersama Pier, subplot ini juga menjadi hiburan buat saya, dan saya menulisnya dengan White As Milk di kepala. Buku itu menurut saya menggambarkan remaja Italia banget, jadi selain dari blog-blog saya juga mengambil referensi lingkungan sekolah dari situ. Banyak adegan yang ditulis dengan menyenangkan bersama tokoh-tokoh ini.

Tangan saya lumayan pegal juga, haha. Namun puas rasanya sudah menuliskan sepanjang ini. Sebagai buku kedua yang tidak disangka akan jadi buku kedua, worry dan excitement untuk buku ini terasa dua kali lipat--terutama bagian worry, haha. Namun, saya tahu saya pun sudah melakukan yang maksimal untuk novel ini. Saran dan kritik di novel pertama saya coba aplikasikan di sini, seperti judul yang lebih memiliki arti untuk ceritanya dan deskripsi yang lebih detail. Seorang pembaca pernah bilang ke saya, 'Aku lihat kamu enjoy banget nulis ceritanya (28 Detik), semoga di buku kedua kamu juga bisa menikmati proses menulisnya, ya.' Dan, ya, saya menikmatinya :)

Mohon maaf jika postingan ini agak TMI dan ngalor-ngidul ke sana kemari, hehe. Maaf juga jika di novelnya masih ada beberapa kesalahan seperti typo dan bagian-bagian yang bisa diperbaiki. Inginnya sih, menulis ulang lagi, tapi kalau ditulis ulang terus kapan selesainya? Bukankah itu fungsinya tenggat? :D Dan semoga di buku ketiga (!!!) nanti tulisan saya bisa makin matang, makin dewasa (bukan kontennya yang dewasa ya, belum siap haha), dan membuat saya tetap semangat belajar. Terima kasih buat yang sudah membaca dan mendukung *menjura*

And here it is, my full heart in form of a book, and I hope it holds up for you too.

Ciao! Sampai bertemu lagi di postingan Di Balik Layar lainnya... aamiin x)

No comments:

Post a Comment