Sunday, May 12, 2019

However... (Sebuah Cerpen)

Sebelumnya, selamat menunaikan ibadah puasa bagi kamu yang menjalankannya, ya. Semoga di bulan suci ini kita semua mendapat berkahnya. Berhubung sedang bulan puasa, dan blog ini sudah lama sepi, saya mau isi dengan cerpen bertema Ramadan yang saya tulis di tahun 2013 lalu dan sepenuhnya di ponsel Blackberry karena laptop saya habis dicuri. Cerpen ini lantas diikutsertakan dalam lomba menulis yang diadakan jurusan Fisika di universitas saya dulu, dan alhamdulillah mendapat juara 1. Lumayan hadiahnya buat nambah-nambah beli laptop baru :')

Buat saya, cerpen ini historis. Satu, tentunya karena ditulis saat keadaan saya sedang jatuh--lagi menyusun skripsi, keuangan menipis, eh Quinche si laptop dicuri pas KKN. Bukan cuma materi, mental pun sempat merasa rendah. Makanya ketika saya lihat selebaran lomba cerpen dari jurusan Fisika di media sosial, saya langsung niat ikut serta. Mengandalkan ponsel saya saat itu, Blackberry lungsuran Bapak yang punya aplikasi buka dan edit file Word, saya ketik cerita ini di sana dan setelahnya dipindahkan ke komputer lawas Pakde--komputer yang sama yang saya gunakan saat menulis 28 Detik!--untuk dicetak.

Dua, lombanya sendiri punya kenangan bagi saya karena dua tahun sebelumnya, di kompetisi yang sama, saya juga memenangkan lomba cerpennya di peringkat pertama. Dan cerpen itu terinspirasi pengamatan hilal yang sebelumnya saya ikuti, saat saya pertama kali ketemu suami hahaha. Pokoknya begitulah, personal dan sentimental. Jadi ketika cerpen ini menang juga, senang dan syukurnya jadi dua kali lipat. Mengingatkan saya pula bahwa segala sesuatu sudah ada tempatnya, sudah tepat waktunya. Kalau laptop saya tidak dicuri, mungkin cerpen ini tak akan hadir, atau kesannya akan berbeda dengan yang saya sudah alami.

Selamat membaca dan menikmati, ya. Semoga suka dengan cerpennya. Oh ya, ada unsur Italianya di sini meski jauh beda dengan Un Treno Per Non So, hehe. Kira-kira kapan ya, saya bikin cerpen lagi... 

PerĂ² 
(Ita. Bagaimanapun) 
Ifa A. Inziati

“Hei Nabil, tangkap!”

Sepotong khobz nyaris saja tergelincir dari tanganku ketika aku berusaha mencegahnya bertemu dengan lantai tanah. Kakakku, Sofiane, malah tertawa dari seberang meja sambil memegang sebotol madu.
 
“Apa-apaan?” protesku.

“Jangan main-main dengan makanan, terutama untuk berbuka.” Ayman angkat bicara. Berbeda dengan kembarannya, ia hanya melakukan hal-hal bermakna dan berguna. Aku heran mengapa mereka pernah bersatu dalam rahim yang sama.

“Takdir,” ucap Ayman lagi. Dia memang pembaca pikiran.

Senja mulai menari di angkasa, menyebarkan warna-warna turunan merah. Ramadan hari pertama memang selalu menjadi yang teristimewa. Kami bahkan sudah mengundang Radoune, Said, dan Jamal ke dalam pesta setahun sekali ini. Sofiane kembali sibuk dengan penataan anggur dan jeruk sedangkan Ayman menyiapkan teh mint manis.

“Pakai air seperlunya,” nasehat Ayman ketika melihatku ke dapur, membawa piring-piring kotor bekas kemarin.

Aku mengangguk. Lagi pula, aku tidak mau mencuci dengan banyak air mengandung pestisida. Aku tidak bisa makan tanpa mengabaikan zat asing apa yang ada di atas piringku, dan itu bakal merusak kemeriahan sore ini.

Ketika aku kembali ke ruang tengah, kudapati Sofiane merentangkan tangannya dengan dada membusung. 
“Keren, kan?”

Ajaib bagaimana cahaya lilin yang biasa kami pakai sebagai satu-satunya penerangan bisa berpendar anggun menimpa bulir-bulir anggur. Ia memang berbakat dalam urusan estetika.

Aku tersenyum, tanpa diminta.

“Kalau saja kau juga apik dengan barang-barangmu,” komentar Ayman.

Seperti yang telah diduga, Sofiane langsung berdiri dan berkacak pinggang. “Hei... Siapa yang punya ide untuk menghias kamar butut ini menjadi sedikit lebih berwarna?”

“Itu cuma poster politisi lokal.”

“Tapi kreatif, kan? Lebih bagus ketimbang selimut bunga-bunga.”

Tepat di sebelahnya, pintu kamar tidur kami terbuka lebar, menampilkan deretan wajah sama yang menutupi sebagian besar dinding. Raffaele sesuatu, pelafalan namanya cukup susah. Lagi pula tidak ada yang peduli. Toh kami bukan penduduk legal sini, kami tidak bisa memilih.

Tak lama, pintu depan diketuk. Radou datang membawa rghifa lengkap dengan mentega, Said dan Jamal dengan beghrir spesialisasi mereka. Ruangan kecil di asrama ini pun langsung ramai dengan sapaan dan meja bundar hampir reyot kami penuh beragam makanan.

Sejak pertama bertemu, Said dan Jamal tidak pernah berbicara selain Bahasa Arab. Maklum, usia mereka mendekati usia Ayah. Radou-lah yang mengajariku Italiano selain kakak-kakakku. Di antara mereka, aku yang paling muda. Ayman dan Sofiane sudah ke sini dua tahun lalu dan berusia 19 tahun saat itu. Aku datang setahun setelahnya di umur yang sama.

“Besok kita harus ke Sele Plain lagi?” gerutu Sofiane, membuka percakapan sembari menunggu detik-detik hari baru.

Ayman menepuk keras paha kembarannya yang berbuah aduhan. Radou lalu meletakkan telunjuknya di depan jari, mendesis. “Sudah, sudah. Meski ini bulan Ramadan, kehidupan harus terus berjalan.”

“Tahu sendiri, tomat paling bagus dipetik saat September,” sahut Jamal. “Kebetulan sekali, ya? Bulan ini adalah bulan panen. Panen tomat dan panen pahala.”

“Ayo, Nabil!” Teriakan Said sedikit membuatku tersentak. “Sebentar lagi waktunya! Minum dulu teh ini sebelum mulai!”

Tadinya kupikir menjalani bulan suci di San Nicola Varco tidak akan terasa berbeda dengan di Casablanca. Menu makan yang sama, bahasa yang seragam, orang-orang yang tipikal. Ternyata memang hanya Tuhan yang Maha Benar.

Mungkin, inilah sebabnya aku dikirim kemari, untuk membuat perubahan.

Kuraih segelas minuman hangat itu dan menggumam doa sebelum meneguknya. Satu-satunya perbedaan di kamp ini dengan rumah adalah hawa, aroma Ramadan yang kukenal sejak lahir, seruan merdu azan.

Maka, segera kumulai ifthar pertama ini setelah menarik napas panjang.

*
 
Sepanjang umurku, aku tidak pernah menyangka akan pergi ke Italia. Entah itu hanya sekadar liburan maupun kerja seperti sekarang.

Ralat, apalagi kerja seperti sekarang.

Sampai akhirnya, beberapa minggu setelah keberangkatan kedua kakakku, mereka mengirim surat dan uang ke Maroko. Kata-katanya makin meyakinkan orang tuaku untuk menggagalkan rencanaku mendaftar kuliah meski aku tahu saat itu tidak ada biaya sepeser pun. Lagi pula, ini Italia. Banyak buku yang indah menggambarkannya.

Sebelumnya, kakak-kakakku juga berniat melanjutkan sekolah.

“Mana yang lebih baik, berbakti kepada orang tua atau memiliki rencanamu sendiri namun tidak direstui?” 

Kalau saja pernyataan itu tidak pernah keluar dari mulut Ayah, aku tidak akan menyusul. Sofiane yang bercita-cita menjadi desainer interior. Ayman yang mantan calon ilmuwan. Dan aku, Nabil Mohamed, dokter tidak kesampaian. Kini harus menjadi petani lepas di perkebunan Salerno dengan bayaran 36 dolar per delapan jam sehari. Hanya setengah dari gaji Said yang sudah memiliki kartu pekerja.

Sekejap, bayangan indah tentang negeri pizza ini musnah.

*

Kakak kembarku merupakan salah satu alasan mengapa aku bisa bertahan di sini. Alasan lainnya adalah suaraku. Bernyanyi menjadi hiburanku dan selain itu, menurut orang-orang, suaraku bagus. Namun, bagiku menjadi muazin lebih memuaskan batin.

“Kau sudah cuci baju?” Sofiane lewat di depanku, membawa seember pakaian basah. Handuk masih melilit di pinggangnya.

“Nanti saja,” jawabku sambil memandang atap-atap plastik bangunan kamp. Siang yang cukup cerah, ratusan penghuni kamp pasti sedang berkerumun di sungai selepas bekerja.

Sofiane lalu menghampiriku. “Masih memikirkan hal-hal lain?”

“Maksudnya?”

“Berdiri sendirian di dekat ban sampah yang dibakar sambil memandang langit, kalau tidak sedang berpikir pasti sakit jiwa.”

Tak jauh, asap hitam membumbung dari ‘tempat sampah ban’, api menyala-nyala di sekelilingnya. Bermacam bau ikut menyeruak darinya. Dioksin. Karsinogen.

“Kau masih ingat mimpi-mimpimu, kan, Sofiane?”

Ada jeda agak lama setelah itu. Kulirik ia, dan tanpa kuduga, Sofiane mendengus. “Mimpi cuma berakhir dalam semalam.”

Kurasakan mataku membelalak.

Ia memulai lagi, rahangnya menegang dan suaranya meninggi. “Oh, jadi itu yang tadi kau pikirkan? Kuberitahu sesuatu, ini tahun 2009. Apa lagi tujuan hidup selain uang. Ini yang kita butuhkan sekarang.” Dibalikkannya badannya dariku, “Aku ke dalam dulu. Cepat cuci bajumu sebelum kehabisan air.”

Aku belum pernah merasa sekesal ini padanya. Baru saja Sofiane melangkah pergi, kulihat Ayman berjalan menuju ke arahku. Ia tampaknya baru pulang dari toko daging, membantu Jamal berjualan.

“Mana Sofiane?”

“Asrama,” jawabku, membuang muka.

“Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa.”

“Aku mengerti kalau ia tukang cari masalah, tapi tidak kepada adiknya sendiri.”

Kepalan tanganku mengendur. Kutatap Ayman, “Kau tahu, kita sedang berpuasa, jadi jawablah jujur. Mengapa kau berbohong waktu itu, kalau di sini baik-baik saja?”

“Nabil, kukira kita sudah membahas masalah ini.”

Diam adalah satu-satunya yang dapat kulakukan kalau Ayman sudah menjawab. Ia mendekatiku, menepuk bahu. “Haruskah kukatakan lagi kalau Radou terdampar di sini karena pernikahannya tidak disetujui? Kini ia hidup sendiri dan bertemu hanya dengan laki-laki. Nasib kita lebih beruntung, teruslah ingat itu.”

Sebelum menjauh, ia menoleh lagi dari balik pundaknya. “Lagi pula, bakatmu dibutuhkan di sini. Kami perlu suasana Ramadan yang syahdu dengan senandung cinta. Azanmu.”


Ini menjadi azanku yang kelima belas di bulan ini. Setelah itu, semua jenis roti asal kampung kami ludes. Gelas-gelas hanya bersisa endapan pemanis di dasarnya dan buah tinggal tangkai dan biji saja.

“Lain kali kita harus membuat makanan lain seperti sup harrira,” saran Said. “Semua gula ini membuatku gila!”

“Ya, tapi kau tetap memakannya juga.”

“Apa boleh buat, Radou, ini waktunya berbuka!”

Kami lalu salat Maghrib berjamaah, yang dilanjut dengan Isya dan Tarawih. Sesudahnya, semua kembali ke masing-masing, berdiam di kamar sambil mengaji atau beristirahat untuk sahur nanti.

Ini menjadi azanku yang terakhir di sini.

Kukemas barang-barangku sebisa mungkin tanpa suara di dalam kegelapan. Ayman di ruang tengah, sedangkan Sofiane sudah terlelap. Jendela kamar sedikit membuka seperti yang sudah kupersiapkan tadi siang, mengundang masuk angin berembus.

Angin yang turut mengantarku pergi di malam berbintang ini.

Aku bersyukur Ia masih menjaga harga diriku. Aku tidak akan kembali pulang. Kudengar bagian Utara penuh dengan kesempatan beasiswa. Atau setidaknya, mendapatkan lagi keberadaan wanita.

Roma, Milan, Turin. Seperti di buku-buku.

Meski aroma Ramadan di San Nicola Varco akan berubah, azanku masih menggema di hati, berkumandang untuk perjuangan yang lebih baik. 




3 Ramadan 1434 H 
In memoriam, Quinche

No comments:

Post a Comment