Sunday, March 15, 2020

Video Call (Un Treno Per Non So's Short Stories)

"Kami tutup."

Pemandangan di luar Una Stanza della Felicita memang tak kelihatan dari sini, tapi aku yakin matahari masih sedikit menampakkan dirinya. Lewat layar iPad-ku, senyum Anna tampak lembut dan berpiksel. Kulkas yang dipenuhi magnet suvenir menjadi latar belakangnya. Meja makan kayu yang kukenal sedikit terlihat, menopang dua lengannya yang terlipat.

Aku tak mau berspekulasi apa pun, tetapi harus kuterima kenyataan bahwa Anna sedikit lebih kurus dari dua tahun lalu. Ini membuatku khawatir--sangat khawatir, tapi selama yang kulihat adalah dapur Una Stanza dan bukan rumah sakit, kuyakinkan diriku dia baik-baik saja.

"Dan kami baik-baik saja." Anna masih saja mampu menebak raut mukaku.

"Oh, syukurlah." Kuhela napas lega. Aku tak menampik--aku memang meneleponnya tengah malam begini karena ingin tahu kabar mereka. Kukira di sana jam segini Matteo pasti sudah selesai dengan pekerjaannya, tetapi yang mengangkat hanya Anna. Lalu kupikir lagi, dalam situasi begini, apakah Matteo masih juga bekerja seperti biasa? "Bagaimana keadaan di sana sekarang?"

"Yah, seperti yang diberitakan media, kami tak bisa ke mana-mana. Sekolah diliburkan, hanya toko tertentu yang boleh buka atau bisa buka, karena pemiliknya masih harus menjalani perawatan. Seperti restoran keluarga di via Garibaldi yang pernah kita kunjungi waktu itu. Sebetulnya kami sudah tutup sebelum pemerintah menyatakannya, karena kami sadar risiko kami sangat tinggi." Anna membetulkan posisi duduknya, dan aku seketika diingatkan dengan keriput di jemarinya yang tampak jelas karena lebih dekat dengan layar. "Kami tak bertemu siapa-siapa sejak awal Januari, hanya tamu. Seingatku kami juga tak menyentuh mereka. Kamar-kamar dibersihkan dengan disinfektan seperti peraturan biasanya. Sejak ada Una Stanza, kami memang banyak menghabiskan waktu di sini dan jarang berkumpul kecuali hari raya dan pernikahan. Untungnya, pernikahan musim dingin masih jarang diminati meski lebih murah."

Tawa Anna terasa diberikan untuk menenangkanku, bukan benar-benar respons alamiah dari kalimatnya. Namun, aku tetap membalasnya dengan terkekeh pelan. Lagi pula upaya Anna mengabarkanku memang terdengar tulus. Mereka baik-baik saja sekarang. Semoga mereka baik-baik saja seterusnya.

"Apakah itu Alita?" suara Matteo masuk dari jauh, tapi masih jelas terdengar, membuatku terkejut sekaligus senang. Anna lalu menggeser layar gawainya sedikit, membiarkan figur Matteo menempati sisi kirinya. Derit kursi memenuhi speaker sebelum wajah kami bertemu. "Hei, apa kabar? Baik sekali kau menelepon."

"Aku baik, terima kasih," jawabku. "Molto bene."

Matteo tergelak. "Kau masih ingat Italiano, kan? Momento pazzo." Matteo mengumpat halus. "Dunia sedang khawatir. Dan kau tahu? Istriku justru khawatir pada dunia di saat dunia mengkhawatirkannya. Aku baru saja pulang dari supermarket untuk membeli keperluan yang habis tapi lagi-lagi, aku hanya pulang dengan sedikit vitamin dan minyak sayur. Pasta masih kosong!" serunya, mengagetkanku. "Tapi untungnya Anna jago membuat pasta sendiri."

"Tapi jika kita kehabisan tepung, aku juga tidak bisa membuatnya," timpal Anna.

"Oh? Benar juga." Matteo menoleh. "Tapi kita masih punya tepung, bukan?"

"Lebih dari cukup untuk berdua."

"Aku lega mendengarnya." Matteo meletakkan tangannya di depan dada. "Sungguh. Di masa seperti ini, aku sadar aku tak pernah lebih menghargai gandum atau apa pun yang kami punya di dapur ini sebelumnya."

Tuhan, aku merindukan momen ini. Aku ingin ke sana hanya untuk memeluk mereka berdua. Merekalah alasan aku masih percaya ada cinta.

"Bagaimana denganmu, Alita? Bagaimana keluargamu?"

"Mereka semua sehat. Pemerintah kami masih belum menyatakan apa pun selain jumlah penderita dan korban, tetapi sebagian fasilitas umum sudah ditutup dan banyak sekolah diliburkan. Agenda-agenda publik di Bandung dibatalkan. Aku juga akhirnya mengikuti ujian sekolah jarak jauh sebelum kelulusan nanti." Kuselipkan tawa kecil. "Aku tak bisa bayangkan bagaimana di Turin sekarang, tapi jujur aku senang sekali bisa bertemu kalian berdua."

Hanya ini yang aku butuhkan sesungguhnya: melihat dan mendengar Anna serta Matteo bicara langsung denganku, memastikan mereka menjalani hari dengan baik. Sejak kabar lockdown tersebar ke seluruh penjuru bumi, aku ingin langsung menghubungi mereka, tapi di sini kami pun masih harus mengurusi sekolah Kiran dan pekerjaan Ayah-Mami yang dipindah ke rumah. Memang menyenangkan bisa lebih sering bertemu, tapi kuharap seterusnya bukan karena pandemi.

Aku baru saja hendak menutup pembicaraan jika benar mereka sudah menceritakan semuanya, tetapi gerakan bibir Matteo menghentikanku. Audionya baru sampai beberapa detik setelahnya. Aku menyalahkan jaringan Wi-Fi dalam hati.

"Terlepas dari semua kekacauan ini, Alita, aku dan Anna masih bisa melakukan banyak hal dan kami sangat bersyukur karenanya. Mungkin juga karena kami sadar usia dan kondisi kami, menjaganya agar tetap sehat adalah prioritas yang sudah kami lakukan jauh hari. Tidak semua orang punya kemewahan itu."

Kusempatkan diri untuk mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Aku setuju dengannya. Kutatap kembali layar iPad.

"Aku sudah memberitahumu tentang pemilik restoran keluarga di via Garibaldi bukan, Alita?" kini Anna yang bicara. "Bukan hanya dia yang terpapar. Kami dengar dari grup komunitas host parents, pria yang pernah menjadi ayah inang dari temanmu Tanvir juga dirawat setelah mengeluh sesak napas."

"Ya, Tuhan!" aku spontan menutup mulutku. "Apa Tav sudah tahu ini?"

"Kami tidak bisa memastikannya," ujar Matteo. "Siswa pertukaran kami yang terakhir, Aurel, sudah pulang ke Brazil dan semua programnya dihentikan. Padahal ia masih bersemangat mengikutinya, tapi yah... ini yang terbaik."

"Semoga saja..." angkatan di bawahku mengalami hal yang lebih sulit setelah terjadinya outbreak ini. Pembatalan dan pemulangan di mana-mana.

"Saat berangkat ke supermarket tadi," lanjut Matteo, "aku melewati apartemen yang berada di sebelah toko sepatu di ujung jalan sana, kau ingat, Alita? Lalu aku bertemu seorang gadis oriental, mungkin sedikit lebih tua darimu, sedang berdiri di balik jendela lantai pertama. Mukanya tampak cemas, maka kuhampiri dia. Ternyata dia juga ingin ke supermarket tapi tidak ada yang menemaninya. Dia sudah mencoba menghubungi temannya, tapi teleponnya tidak diangkat."

"Kasihan sekali," gumamku.

"Aku mengajaknya untuk pergi bersama. Katanya, kalau saja sabun dan pembalutnya tidak habis, dia juga tidak akan pergi dan memilih diam saja seperti penduduk lain. Dia menunggu sampai malam untuk keluar, kau tahu? Padahal jalanan sepi dari subuh. Kau bahkan bisa mendengar bunyi roda mobil yang berjalan mulus dari sini. Lalu dia bilang, 'Mungkin akan lebih mudah jika aku bukan orang Asia.'"

Anna yang baru mendengar cerita ini pun ikut terperangah. Selama ini, sejauh ini, aku hanya melihat semuanya dari layar kaca, sehingga senyata apa pun beritanya tidak ada yang bisa kujangkau. Berbeda dengan Matteo. Aku mengenalnya. Aku pernah bertemu dan tinggal di rumahnya. Dia selalu baik padaku, selalu jujur, selalu sabar, dan dia membuka mataku bahwa ancaman ini tidak hanya teori atau kumpulan data, tapi benar-benar terjadi.

Gemetar ini belum hilang ketika Matteo melanjutkan.

"Kami lalu sampai di supermarket yang antriannya tak begitu panjang, sekitar dua orang. Seorang polisi berjaga-jaga di depan. Aku mau saja menemani di sampingnya karena tampaknya dia tak mau jika sampai polisi mendekatinya, tetapi kami harus menjaga jarak satu meter saat mengantre di depan toko. Kami pun bergiliran masuk, dan aku secepat mungkin menemukan yang kubutuhkan. Kubayar vitaminku di kasir, kaki di garis batas kuning, kemudian kulihat dia. Syukurlah polisi itu masih di tempatnya, karena jujur saja, orang Italia atau bukan, pasti seram melihat perawakannya yang tinggi besar itu."

Layar bergeser bersamaan dengan gerakan lengan Matteo, yang berarti tangannya menyenggol gawainya. Anna segera membetulkan dan Matteo menyelesaikan kisahnya. "Ketika aku keluar supermarket, bisa kurasakan di udara hawa kiamat seperti di film-film bencana itu. Kau tahu Torino seperti apa--nenek-nenek menari tak kenal waktu, anak-anak berkreasi di jalanan, musik, harum makanan, lampu-lampu. Sekarang hanya bau hujan, Alita. Aroma air yang menggantung dan tak turun-turun. Musim semi seharusnya datang sebentar lagi, tapi tidak ada yang terlihat gembira. Sudah bukan pilihan lagi untuk belajar dari kami, kesalahan yang kami lakukan saat dinyatakan ada korban, agar ini semua tak terjadi di tempat lain. Apakah kami akan bertahan dalam kesepian ini? Mungkin saja."

"Lyanna DeMarco meninggal."

"Apa?" kataku dan Matteo bersamaan.

"Keponakan bibiku dari pihak ibunya, Lyanna, meninggal." Anna berkata. "Dia seumuranku. Aku ingat kami pernah main bersama di tempat bibi. Terakhir kami bertemu memang waktu masih muda dulu, tapi terakhir dia menghubungiku adalah sebelum dia dibawa ke tenda medis, mendoakan keselamatanku."

Matteo terpaku sesaat. "Bukankah--bukankah yang kau maksud itu Karenina, teman SMA yang punya perkebunan anggur?"

"Bukan, Lyanna yang ingin memiliki restorannya sendiri. Kabarnya bulan lalu dia sudah mendapatkan tempat yang pas. Nina baru sampai dari Korea ketika ia dinyatakan positif mengidapnya, sedangkan Lyanna tak lama dikunjungi cucunya dari Milan. Aku baru dapat kabarnya sore ini. Saat kau pergi ke supermaket." Suara Anna berubah menjeda.

"Ya Tuhan, Anna, aku turut berduka cita," balasku. Aku harap Anna mendengarnya dari balik dekapan Matteo. Cukup lama dia membenamkan kepalanya di dada Matteo, mendengarkan Matteo berbisik sembari mengangguk-angguk. Mataku jadi ikut berair. Kuusap sebelum mereka melihatnya, dan ternyata Anna juga menyusut sudut matanya setelah melepas pelukannya.

"Terima kasih," ucapnya. "Alita, apa kau mau mendengar tentang Pier?"

Demi Tuhan yang mengizinkan ini semua, setitik pun aku tidak menyangka percakapan ini akan terjadi. Hanya Matteo dan Anna yang ingin kupastikan kabarnya. Namun, aku mengerti arti Pier bagi Anna. Kupusatkan hati dan pikiranku untuk Anna, yang lebih membutuhkan bicara soal ini ketimbang untuk diriku sendiri--yang sekarang mungkin tak ada gunanya juga.

Baiklah. Aku mengakui, terkadang di penghujung hari sebelum terlelap, di kerumunan konser pensi, dan di tengah hujan ringan yang masih menyilakan mentari bersinar, aku teringat padanya. Namun hanya sekelebat kabut memori. Tidak lebih. Setidaknya sampai Anna menyebut namanya lagi.

"Ya, aku mau." Kuanggukkan kepala.

"Sekitar pertengahan tahun lalu, dia pulang dari Regensburg. Meneruskan kembali cita-citanya menemukan dongeng itu, katanya. Kurasa saat dia menceritakannya di sini, dia terlihat lebih segar dan terdengar antusias. Pier terlihat sehat. Lalu bulan setelahnya, dia tidak datang lagi ke Una Stanza hingga malam Natal. Kala itu pun dia hanya mampir, lalu pergi lagi. Sejak saat itu, ponselnya selalu mati saat aku mencoba menghubunginya, entah mengapa."

"Lalu... bagaimana sekarang, Anna?" tanyaku pelan-pelan.

Anna menarik napas. "Aku dengar dari Damien, temannya yang akhirnya kutelepon, bahwa dia sempat dalam kondisi yang tidak baik. Dio Mio, kuharap bukan virus itu. Tapi itu sebelum Desember, bukan? Dia sudah kembali ke Turin sebelum wabah itu merebak? Apa menurutmu dia akan baik-baik saja?"

"Sudah saatnya kau lebih memikirkan dirimu sendiri, cara. Aku paham kau menyayangi bocah itu dan aku juga mengkhawatirkannya sebesar kau mengkhawatirkannya, tapi dia sudah dewasa. Dia pasti bisa menjaga diri. Dia pria tangguh, pasti kau juga tahu itu." Matteo menenangkannya.

"Tapi dia seringkali sendirian di apartemennya--"

"Ya, betul. Ketika kita ke sana, kadang kamarnya juga kosong." Matteo masih menatap Anna, alisnya menurun. "Tapi jika dia juga kena, pasti kita akan dikabari. Seperti Lyanna dan Karenina. Kita pasti sudah tahu. Betul, bukan?"

"Matteo benar." Berbicara tentangnya seakan membuka lubang hampa di batin dan mendatangkan kembali rasa di bawah lidah yang tak ingin kucecap lagi. Padahal tadinya kupikir aku akan merasa... entahlah. Datar? Tak tersentuh? Namun karena aku melakukannya demi Anna, semua itu dapat kuabaikan. "Ingat ketika dia pergi ke Maroko dan kau juga merasakan seperti ini, tapi kau tetap percaya dia akan kembali? Nyatanya, yang terjadi pun seperti itu. Jangan putus harapan, Anna. Terutama di saat harapan itu amat dibutuhkan."

"Essato. Di waktu-waktu seperti ini... harapan seperti bahan bakar kita. Jangan sampai kita kehilangannya."

Aku tersenyum pada layar di depanku. Menambahkan Matteo, aku berkata, "Dan Pier pasti lebih cemas melihatmu mencemaskannya sampai melupakan dirimu sendiri. Maaf jika aku terkesan menggurui, tapi maksudnya--"

Tak kuduga, Anna terkekeh. "Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku jadi amat kurus, ya?"

"Aneh rasanya seorang juru masak kurus."

"Aku bukan juru masak, Matteo. Aku cuma juru kunci B&B."

"Dan aku suaminya yang akan selalu berusaha menjaganya. Mari kita sama-sama saling menjaga. Kau juga di sana ya, Alita."

Derai tawa mereka menembus jarak, turut menggelitikku. Cahaya yang terpancar dari mereka seolah mampu menghalau dinginnya malam ini. Andai kami bertukar tempat dan aku yang sendirian... aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan. Sehebat itu keluarga Finello. Setangguh itu penduduk di sana.

"Omong-omong, jam berapa di Indonesia? Kau seharusnya tidur!" seru Matteo. "Istirahatlah yang cukup. Jaga kesehatanmu. Kau bisa chat kami saja."

"Sebetulnya, aku menelepon karena..." kulirik jam dinding yang semakin berdetak ke kanan. "Kami sekeluarga sudah berencana akan berlibur ke Italia bulan ini. Aku tidak sabar ingin menunjukkan Una Stanza pada adikku, dan aku juga bisa punya kesempatan untuk mengenal Mami lebih dekat. Kemudian kita semua tahu apa yang terjadi. Jadi... daripada hanya berkirim teks dan surat yang sudah sering kita lakukan, aku ingin bertemu langsung. Aku juga sudah mengira Anna akan mengangkat teleponku di meja makan."

"Rencana yang indah. Aku menyesal liburan kalian tidak jadi, tapi aku senang mendengar tentang kau dan ibu tirimu, Alita," sahut Anna.

"Dan kami juga rindu padamu."

Aku terbahak. "Ya, Matteo, aku kangen sekali."

Akhirnya kami menutup perbincangan setelah saling mendoakan, sedikit tawa lagi, lambaian tangan dan denting lembut jam yang mengingatkanku harus segera menekan tombol merah. Rumah terasa lebih sunyi setelahnya. Kuletakkan iPad-ku, menarik selimut, kemudian berbaring menatap langit-langit.

Kugumamkan doa sekali lagi, lalu aku tertidur. Di atas sana, bintang masih bersinar untuk Bandung. Dan beberapa jam kemudian, bintang juga akan menghiasi Turin dengan kerlip ratusan tahun cahayanya.

* * *

Pagi yang hening datang. Pelan, seakan melangkah di atas ujung-ujung jari kakinya, dan anggun, bagaikan prima ballerina.

Seutas kabut menari di sepanjang via Pietro Micca, yang tak lama mengundang hujan untuk hadir. Musim semi tiba untuk kali pertama di dataran Piedmont. Semestinya harum bunga sudah bisa ditebak kedatangannya. Namun Pier tahu, seiring langkahnya meniti jalan ini, lebih baik menikmati titik-titik air menimpa payungnya ketimbang harus berandai-andai musim semi akan sama seperti tahun lalu. Salone de Libro, Festa della Reppublica, pasar bunga, biarkan tahun ini bumi beristirahat sejenak.

Pada satu restoran masakan Cina yang tutup, dia berhenti. Dikeluarkannya ponsel dan mengetik, 'kutinggalkan sayuran dan roti di depan pintumu. tadi aku mengetuk tapi kau belum bangun' lalu memasukkannya kembali ke saku celana. Namun tak lama, ponselnya bergetar, menampilkan jawaban.

'sepagi ini? dapat dari mana?'

'aku menimbun'

Bisa dia bayangkan raut wajah sang penerima saat membaca pesannya, dan mengingat dia sudah mengenalnya cukup lama, itu lumayan menghibur. Dia pun melanjutkan perjalanannya.

Di ujung jalan, sebuah toko retail ekspres sudah buka dan antreannya telah mencapai tempatnya berada. Satu meter, satu meter, satu meter, hingga tujuh orang. Semua bermasker dan bersarung tangan seperti dirinya. Pier menghindar, memilih bagian jalan lain dan meneruskan langkahnya. Dia berjalan hingga via Mercanti dan berhenti di satu apartemen tua, menaiki lift-nya, dan membuka salah satu pintu pada lantai tertinggi di sana, lantai enam.

Sunyi. Sejanggal orang-orang yang mampu diam mengantri tadi.

Jendela kamarnya memang bukan yang terbaik di lingkungannya. Tetangga-tetangganya, terutama di satu blok perumahan terdekat, memiliki balkon yang lebih indah dan terawat dengan pot-pot bunga segar dan tirai antik. Dia gemar menontonnya terutama di waktu petang, kala lampu-lampu dinyalakan, dan balkon-balkon itu akan berpendar kontras dengan langit. Hujan masih mengguyur seolah menikmati waktunya turun, tenang, syahdu.

Pier lantas mengambil gitarnya.

Dia sebetulnya lebih menyukai piano untuk suasana hatinya kali ini. Hanya saja satu, dia tidak punya, dan dua, terlalu besar pula untuk kamarnya. Dibukanya jendela hingga angin dari ketinggian menerpa ikal rambutnya dan membuatnya berayun. Dia lalu menatap rel kereta api dari Porta Susa, merayap panjang dan telanjang, dingin dari mesin lokomotif. Balkon-balkon di perumahan tampak kosong.

Awalnya dia hanya memetik sembarang kunci. Seperti mengetes suara sebelum tampil di atas panggung, meski itu bukan bagiannya karena dia memegang bas. Lalu, Pier menatap langit lagi, hujan yang membawa janji musim semi, dan pikirannya sendiri. Sebuah lagu mengalun. Nadanya membawa yang mendengar pada dansa pertama, gigitan manis gianduia, bebek-bebek yang berenang di atas bayangan Murazzi di sungai Po, entakan kaki di arcade, warna-warni kostum penari jalanan Piazza Castello, wangi khas pizzeria, dan lapisan pada bicerin yang tegas, jelas, berseni. Yang mengingatkan mereka akan hidupnya Turin.

Dilingkupi aroma kopi, kertas lama dari buku-buku di dekatnya, dan hujan, Pier melayari melodi di tangan, telinga, dan lubuk hatinya. Dan dia lebih dari berharap untuk membawa siapa pun ke kapalnya, pada harapan yang sama, pagi ini.

* * *

Maret, 2020
AndrĂ  tutto bene

No comments:

Post a Comment