PEMUDA itu menemui Silvie seusai membayar tehnya, menunggu satu-dua pengunjung terakhir kedai malam itu pergi, kemudian duduk di seberang meja bar. Kata-katanya menghentikan Silvie yang sedang mengelap tatakan. “Bisakah Anda membantu saya?”
Silvie menoleh pelan. Di luar, bulan perak tampak dari pintu yang terbuka, menandakan musim semi putih yang cerah. Urusan apa yang membuat seorang pemuda tinggi tegap ini meminta bantuan gadis berkursi roda? Sebagian besar hari Silvie dihabiskan di atas perangkat kayu buatan ayahnya: dudukan berkaki empat dengan roda agak besar di bawah dan kemudi kecil di kanan untuk mengendalikannya. Dan kedai keluarga Rosk, kedai teh satu-satunya di Harviemer, hanya menyajikan teh. Mungkinkah dia menginginkan penganan kecil?
Silvie menggumam, “Membantu … apa pesanan Anda kurang—”
“Tidak, tidak, teh daun syrmelia Anda sangat enak. Jelas sekali peraciknya tahu apa yang dia lakukan.” Senyum pemuda itu mencapai matanya. “Dari sedikitnya kedai teh di wilayah Ksagira yang menjual teh syrmelia, saya dengar hanya di sini yang pemiliknya bisa membaca ampas daunnya. Bolehkah … bisakah Anda membaca daun saya?”
Pemuda itu meletakkan cangkir yang dibawanya ke atas meja bar, air tehnya yang merah-jingga keemasan masih tersisa setengah. Silvie mendorong kursi rodanya untuk melihat lebih dekat. Senyum pemuda itu kini kelihatan gigi, tangannya menggosok-gosok permukaan motif cangkir seolah itu lampu wasiat. Silvie tak langsung menjawab. “Dari mana Anda tahu itu?”
Dia juga tak menjawab Silvie. Alih-alih, dia bercerita. “Saya akan melaksanakan ujian masuk pasukan kerajaan besok pagi. Jika lolos, saya bisa membiayai adik saya yang sekarang tinggal bersama bibi. Hanya saya harapan mereka. Saya akan pergi bila hasilnya bagus, tapi jika tidak, saya harus mencari cara lain karena tidak ada cukup uang untuk mencoba dan gagal.”
Silvie tertegun. “Anda pengguna sihir?”
“Eh, tidak secakap itu,” tanggapnya gugup. “Untuk itulah saya membutuhkan ini … agar saya yakin keputusan saya tepat. Dan sihir saya bisa dimanfaatkan untuk kebaikan, seperti Anda. Tidak sembarang orang dianugerahi kemampuan membaca daun syrmelia, bukan?”
Nada menggoda yang ramah di akhir kalimatnya melunakkan hati Silvie. Selama enam belas tahun hidup bertumpu dengan alat bantu, Silvie lebih sering mendengar ‘syukurlah dia memiliki bakat itu untuk mencari nafkah tambahan’ ketimbang menghargainya karena itu dirinya. Ayahnya yang kerap rematik sudah menyerahkan kedai kepadanya sejak dua tahun lalu dan hanya sesekali menukang jika diminta tetangga. Jika kursi rodanya rusak dan Ayah terlalu kepayahan memperbaikinya … bagaimana nasib mereka? Barangkali, kegentingan pemuda ini kurang-lebih seperti dirinya.
“Saya hanya diminta membaca daun teh di acara minum teh Baroness Lolla. Selain itu, saya tidak pernah mengambil pekerjaan ini. Jadi, saya terkejut Anda bisa tahu,” ujar Silvie. Diposisikannya kursi roda agar lebih nyaman di depan meja bar yang rendah. “Biar saya siapkan nampannya dulu. Anda bisa tunggu di sini.”
“Te-terima kasih!” getaran di suara pemuda itu menyamai binar wajahnya. Karenanya, Silvie menyadari warna matanya ternyata cokelat madu. “Tunggu, berapa biayanya?”
“Tidak usah, Anda duduk saja.”
“Oh, namaku Zale. Apa kau perlu nama peminumnya?”
Silvie menggeleng. “Silvie. Senang berkenalan denganmu, Zale.”
“Tidak, aku yang senang. Silvie, ada lagi yang kau butuhkan?”
Silvie selesai menyusun sebuah nampan kecil dan satu tatakan gelas untuk menuangkan sisa teh. Syrmelia tanaman yang unik; berdaun kecil tapi lebar, dapat dibudidayakan tapi skala pertanian membuat semua tanamannya mati, dan hanya bisa dijadikan teh. Sebagian buku menerangkan syrmelia mendapatkan sifat sihirnya dari rekayasa magi zaman dahulu, sebagian lagi mengungkap memang begitulah syrmelia sejak tanah diciptakan. Tidak semua kebun dapat menumbuhkannya. Silvie bersyukur taman belakangnya menjadi salah satunya.
Dia tersenyum, memandangi rambut gelap Zale yang berkilat terkena cahaya kandelir lilin. “Tidak, semua sudah siap. Mari kita mulai. Ucapkan pertanyaanmu dalam hati.”
Zale menutup mata. Silvie menunggu, memandangi bulu mata Zale yang menyentuh bawah matanya dan helai rambut yang menyapu tulang alisnya. Dia mungkin dua-tiga tahun lebih tua, karena ujian masuk pasukan kerajaan dibuka dari usia delapan belas. Ketika mata Zale menampakkan warna cokelat madunya lagi, Silvie mengambil cangkir Zale dengan cekatan dan menutupnya dengan tatakan gelas yang terbalik.
“Sekarang, aku akan membalik cangkir ini lalu menarik tatakannya. Terkadang akan ada tumpahan, tergantung seberapa banyak tehnya, maka kusiapkan nampan ini.”
“Apa sisa tehnya akan digunakan lagi?”
“Langkah selanjutnya tetap menggunakan air teh ini.”
“Apa aku bisa meminum sisanya? Atau itu dilarang?”
Silvie terkekeh. “Kau akan melihatnya nanti.”
“Aku hanya takut membuang-buang teh magis. Pasti kau sangat bekerja keras menanam tanaman itu, atau mendapatkannya dari importir luar Ksagira ….”
Silvie membalikkan cangkir lalu menyelipkan rambut cokelat keabuan yang menghalangi pandangannya kembali ke jalinan kepangannya. Ditariknya pelan tatakan yang menutupi tadi, melepas sisa teh di dalam cangkir yang menitis ke nampan, pelan, pelan, lalu terangkat kembali, bulir besar merah-jingga keemasan berputar di udara.
Zale menatap tanpa kedip. “Wow.”
Sembari berkonsentrasi, Silvie menjelaskan, “Banyak-sedikitnya air teh yang bisa terkumpul menandakan seberapa besar kesempatan pola daun teh untuk jadi nyata. Namun, faktor lain seperti bintang dan musim kelahiranmu bisa berpengaruh. Dan yang terpenting, usahamu dalam mewujudkan mimpi itu sendiri lebih utama. Setelah ini, kita lihat apa yang kau dapat.”
Perlahan, Silvie memutar-mutar cangkir Zale. Air teh yang semula melayang turun kembali ke nampan bagai gerimis, dan dari sudut matanya Silvie mendapati Zale tersenyum tipis. Diletakkannya cangkir di atas meja, sedikit dimiringkan, agar Zale dapat melihat ampasnya. Pola daun syrmelia yang dinantikan.
“Pola ini hanya simbol.” Silvie menunjuk. “Kiasan. Jika tadi kau bertanya apakah bisa lolos ujian, daun syrmelia tidak akan membentuk gerbang militer kerajaan atau seragam pasukan. Mungkin burung, pertanda perjalananmu mulus. Mungkin apel yang berarti kesuksesan. Dan kau mendapat …” diamatinya titik-titik kehitaman ampas seduhan itu. Sebagian membentuk semacam telinga hewan dan badannya yang berekor bulat.
Zale memandanginya penuh harap.
“Kelinci. Di mana kau akan mengikuti ujian itu?”
“Kota Yakt, tak jauh dari Harviemer.”
“Jika di kota, kemungkinan akan berhasil. Oh, ada satu lagi, di sisi sini. Kau lihat?”
“Yang di pinggir itu juga pertanda?”
“Tentu saja. Apa kau masih mau aku membacanya?”
“Tentu saja!” serunya. “Sekarang aku mengerti. Pesta teh Baroness dan teman-teman wanitanya pasti sepi tanpamu. Jadi, pola apa itu?”
Mulanya, Silvie kurang yakin. Bulatan-bulatan itu entah berarti titik-titik atau membentuk kelopak bunga. Namun, ada garis-garis yang terhubung dengan bulatan-bulatannya, dan terikat di bawah … seperti sebuah … “Buket bunga.”
“Yang berarti ….”
Silvie menarik napas. Pipinya lambat laun menghangat. “Keberuntungan. Keberuntungan yang besar akan ada di pihakmu.”
Zale bersinar lebih terang dari pencahayaan di kedai. Tangannya meraih tangan Silvie yang masih mengait pegangan cangkir, menggenggamnya, lalu tersenyum. “Luar biasa. Terima kasih, Silvie. Maksudku, sekalipun hasilnya buruk, aku akan tetap berterima kasih. Kau dan kemampuanmu benar-benar menakjubkan.”
“Sudah kukatakan, usahamu adalah faktor terpenting—”
“Mungkin,” sela Zale. “Tapi pertanda itu terbukti benar. Keberuntunganku mungkin sudah dimulai sejak aku mendengar tentangmu. Kau tak tahu betapa berharganya bantuanmu ini.”
Silvie seharusnya bertanya lagi apa dia tetap pada rencananya, kapan dia akan bertugas jika diterima, dan kapan dia kembali ke Harviemer. Namun, setelah tangannya menerima lembut tangan Zale, seraya mendengar pamitnya dan memandanginya keluar pintu kedai hingga menghilang, pikirannya hanya mampu terpaku pada satu arti yang sengaja tak dia beritahu.
Buket bunga juga bermakna cinta.
Musim semi putih berlalu, begitu pun musim semi merah muda. Sepanjang waktu itu Silvie memikirkan Zale dan kelinci dan buket bunganya, Zale dan mata cokelat madu dan rambut gelapnya, Zale dan senyum dan genggaman tangannya.
Selama itu pula, Silvie menghindari membaca daun teh syrmelia untuk dirinya sendiri. Cinta? Cinta seperti apa? Pola daun itu untuk Zale, bukan untuknya. Inilah yang Silvie takutkan—jika Silvie membaca daunnya dan menemukan tanda yang tak sesuai dengan buket bunga, dia akan mulai memercayainya, tak peduli perkataannya sendiri tentang usaha yang paling utama.
Maka, rasanya seperti mimpi melihat Zale berjalan menuju kedai di siang musim panas hijau yang terik, saat Silvie baru selesai mengurus kebun dan hendak membereskan kedai sebelum buka petang nanti. Kini Zale berseragam, lambang kolibri pasukan kerajaan di dadanya mencolok dari jauh. Senyumnya masih sama, selalu mencapai matanya.
“Silvie,” sapanya, “ingat aku? Aku—”
“Zale.” Silvie menyambungnya. “Kau diterima.”
“Ya!” Tawa kecilnya mengajak Silvie tertawa juga. “Orientasi dimulai saat musim semi merah muda dan aku baru saja menyelesaikan misi pertama. Kami diberikan libur sampai malam ini, tapi rumah bibiku cukup jauh di pinggir desa. Jadi, aku ke sini. Keberatan jika aku mampir?”
Silvie tepekur sejenak. Zale memilih menemui dirinya di waktu senggangnya yang sempit. Silvie harap perubahan warna wajahnya tak begitu kentara. “Tapi … maaf, kami masih tutup.”
“Oh, bagaimana jika kau menemaniku berjalan ke alun-alun? Aku akan menraktirmu kudapan, jika kau mau, sebagai sedikit ucapan terima kasih.”
Kursi roda Silvie bergeser ke depan-belakang, seolah menghindari kerikil, walau kenyataannya dia gugup saat berpikir. Setelah mengiakan, dia meminta Zale menunggunya bersiap. Dipakainya stoking, digantinya alas kaki dari babut dengan sepatu bot, ditutupinya korset dan petticoat sebagai pakaian kerja dengan kemeja renda dan gaun katun warna biru satu-satunya, lalu dikenakannya bonnet dan topi jerami berpita. Ini kali pertama seorang pria mengajaknya berjalan-jalan, dan hati Silvie tak berhenti berdebar sepanjang berpakaian.
Mungkinkah … dia buket bunga yang dimaksud?
Langkah Zale mengikuti kecepatan Silvie di sisinya. Dia tidak menawarkan diri untuk mendorong, dan ini melegakan. Orang-orang lupa kursi rodanya bukan sekadar perabotan, tapi perpanjangan tubuhnya. Mereka juga sering tak bertanya dulu jika ‘bantuan’ yang mereka beri benar-benar membantu Silvie.
“Bagaimana ibu kota?” Silvie memulai pembicaraan. “Apa di sana menyenangkan?”
“Bagaimana mengatakannya …” Zale menilik langit. “Sangat terang. Aku belum pernah melihat lampu minyak sebanyak itu. Juga sangat wangi, atau lebih tepatnya memiliki lebih bermacam bau. Namun, kamp dan markas terasa sama seperti di sini, bahkan danaunya hampir mirip Danau Harviemer. Bagaimana keadaanmu? Apa kau selalu kerepotan menjaga kedai?”
“Repot atau tidak, itu sudah jadi kehidupanku selama ini, sejak Ayah masih kuat menjalankan kedai. Beliau bukan pengguna sihir teh sepertiku, tapi racikannya lebih enak. Aku baru mampu hampir menyamai rasanya akhir-akhir ini. Aku akan mencapainya, pada akhirnya.”
Zale tersenyum selembut puding susu. “Aku juga meyakini itu.”
Pasar pagi menyisakan lapak kayu kosong di sebelah tenda-tenda penjual pernak-pernik, kain, dan alat-alat rumah tangga yang buka siang ini. Setelahnya, pepohonan rindang menaungi jalan batu yang bermuara pada lapangan alun-alun. Silvie dan Zale menyusuri tepi lapangan sebelum menyeberang ke tengah tempat air mancur berukir memercikkan kesegaran. Mereka memelankan laju sejenak sebelum Zale berhenti, figurnya tertutup kilau air sembari dia memandangi anak-anak yang berlarian sepulang sekolah.
“Kau suka makanan manis?” tanya Zale, pandangannya bergeser ke jejeran toko dekat kumpulan anak-anak itu. “Kalau tidak salah toko roti itu menjual pai lemon persik dan flan beri violet dalam jumlah terbatas. Belum pernah kucoba, tapi dulu aku pernah mendengarnya dari temanku yang anak penagih pajak.”
“Aku jadi teringat adik dan bibimu, bagaimana mereka setelah kau pergi?”
“Dari surat terakhir, mereka bilang kiriman uangnya sudah sampai dan mereka bisa menyimpan bahan makanan lebih banyak untuk musim selanjutnya,” jawabnya. “Bagaimana dengan es serut di sebelahnya, Silvie?”
“Es serut …” Silvie hampir tak ingat kapan terakhir dia menikmati es serut. “Aku suka.”
“Sungguh? Aku juga! Bagaimana biasanya kau menyantapnya?”
“Saat itu Ayah mendapat koin tambahan setelah membetulkan meja di balai kota. Hari sangat panas dan aku yang masih kecil mengeluh hingga akhirnya dibelikan semangkuk es. Sampai rumah, aku sadar tak punya buah atau susu, jadi kusiram dengan madu dandelion yang kuambil sedikit dari kedai. Hanya itu yang pernah kurasakan.”
“Kedengarannya sangat lezat. Aku baru tahu kedaimu menyediakan madu.”
“Teh syrmelia sangat cocok dengan madu dandelion. Namun, teh bermadu tidak bisa dijadikan teh untuk membaca daun. Harus teh syrmelia tawar.”
“Senangnya memiliki sihir yang berhubungan dengan makanan.” Zale terkekeh. “Percayakah kau toko es serut itu bisa menyimpan balok es sejak musim dingin abu? Di ibu kota, penjualnya bahkan memamerkan sihir es mereka saat mengeluarkan es dari kotak lalu memegangnya di bawah matahari dan tetap beku. Keren, bukan?”
Rasanya Silvie akan betah mendengar suara Zale sepanjang hari. Dia baru mengenalnya, tapi dia ingin Zale selalu bahagia seperti ini. Silvie mengikuti Zale menuju toko es serut, lalu roda kursinya tiba-tiba terantuk sesuatu dan terhenti. Silvie mencoba melepasnya dengan menggerakkan kemudi, tapi tak juga berhasil.
Zale menghampirinya. Dia segera berlutut untuk mengamati roda di kursi Silvie. “Batu. Aku bisa menyingkirkannya, tapi rangka rodamu sudah terkena benturannya dan penyok cukup dalam. Roda yang sebelah sini juga … sudah kubilang apa jenis sihirku?”
Dikeluarkannya sebuah lencana kecil dari saku jaket luarnya. Lambang kolibrinya sedikit berbeda dari yang dia kenakan, lebih kecil dan berwarna tembaga. Silvie membisu dalam kagum saat Zale mengubah lencana padat itu menjadi bentuk kenyal, lalu kental, dan memindahkannya ke rangka roda sebagai tambalan tanpa bekas. Dia juga melakukan hal yang sama pada roda satunya, menyisakan gambar kolibri di tengah.
“Kau memanipulasi logam,” bisik Silvie.
“Tak selalu selancar ini.” Zale menunduk. “Tapi dengan latihan aku bisa mencoba lebih keras. Omong-omong, apa hubunganmu dengan Tavryn? Kayu ini kayu ringan Tavryn, bukan?”
“Kami dari Tavryn, ayah dan ibuku.” Silvie berujar. Sudah lama sekali dia tak mengucap nama tempat kelahirannya itu. “Kami pindah ke sini setelah Ibu tiada.”
“Setelah perang Ksagira dan Lute?” suara Zale memelan. “Maaf, maksudku jauh setelah—”
“Ayah dan ibuku menikah jauh setelahnya. Namun, residu sihir yang melingkupi daerah itu sepertinya yang membuat ibuku meninggal saat melahirkan … dan kaki ini.”
Zale menengadah, matanya menemui mata Silvie. “Aku turut berduka,” bisiknya halus.
Silvie hanya dapat mengangguk. “Masih ingin es serut?”
Zale sigap menangkap pesan tersembunyi Silvie dengan memesan es. Tak hanya itu, dia juga menambahkan apel, honeysuckle, dan susu. Sembari menikmati kesejukan yang manis, Zale bercerita ayahnya pengguna sihir benang, pergi tak kembali saat adiknya dua tahun, tidak pernah mengenal ibunya, dan bibinya begitu sabar merawat mereka. Mereka kembali tepat saat waktunya membuka kedai, dan sementara Silvie meracik teh, Zale menawarkan diri membantu menyampaikan pesanan dan mengantar menu ke meja pelanggan. Matahari bergulir, bulan meninggi, lalu malam memekat hingga di kedai tersisa hanya mereka berdua.
Silvie menyodorkan dua cangkir di meja bar untuk Zale—teh syrmelia tawar dan bermadu. Zale menandaskan yang madu dan menyisakan setengah yang tawar. “Tidak apa-apa kau membacakan daunku lagi dan gratis?”
“Aku juga ingin berterima kasih atas kemurahan hatimu,” ucap Silvie.
Sisa teh yang mengambang membentuk bulatan lebih besar dari sebelumnya. Daun di dasar cangkir menciptakan pola yang jelas terbaca. Silvie tersenyum, tertular kegembiraannya.
“Sapu, perubahan. Dan yang ini, jangkar, juga berarti keberuntungan.” Dan lagi-lagi, cinta.
Senyuman Zale lebar sekaligus lembut. “Aku di masa lalu pasti sangat berjasa untuk negara.”
Usai tawa mereka memudar, Silvie bertanya, “Sebagian besar orang menganggap pertanda seperti ini hanya hiburan, tapi mengapa kau percaya?”
“Sejujurnya? Aku kehilangan arah. Bertahun-tahun sihir logamku digunakan untuk membuat pagar dan barang yang memerlukan estetika, tapi bakatku tak pernah mampu mencapai hasil yang pantas. Sementara itu, penghasilan bibi di rumah jahit sangat pas-pasan. Jadi, kupikir mungkin seharusnya aku membangun senjata alih-alih teralis mawar. Kiasan yang kau baca mendorongku untuk percaya, karena bagaimana bisa jadi nyata jika aku tak memercayainya?”
“Lalu, seandainya kau mendapat hasil yang buruk ….”
“Akan kugunakan itu untuk mempersiapkan langkah selanjutnya. Lagi pula, baik atau buruk, aku tetap percaya pada kemampuanmu.”
Zale meraih tangan Silvie yang memegangi cangkir. Namun, alih-alih bergeming seperti waktu lalu, genggaman Zale menuntunnya untuk lepas dan mendekat. Diangkatnya tangan Silvie ke arah bibirnya, dan ketika dia mengecupnya pelan, tak hanya hangat yang menjalari wajah Silvie tapi juga seluruh warna bunga, dan kembang api di degup jantungnya.
“’Kau cantik,’” gumamnya. “Itu pula yang ingin kukatakan saat pertama menatap mata hijau jernihmu. Tapi tentu tidak kulakukan karena kita baru bertemu, dan niat awalku bukan untuk itu. Namun, hari ini, kau membiarkanku mengenalmu, dan aku membiarkanmu mengenalku. Jika di musim panas biru aku kembali, maukah kau menemuiku lagi?”
Tangan Zale satunya menyelipkan rambut Silvie ke belakang telinga, lalu menyusuri kepangan yang sudah bebas dari bonnet dan topi jerami. Silvie memejamkan mata, meresapi berbagai perasaan menghujaninya bersamaan: bungah yang membuncah dari kehadiran Zale, gugup yang tertutup dari khawatir salah berucap lalu mengacaukannya, sedih yang tertunda dari pikiran akan terpisah untuk kali kedua.
Telapak tangan Silvie yang Zale genggam dibiarkan membuka, lalu terasa dingin dari lencana yang tinggal tersisa lambang kolibrinya. Zale tersenyum. “Agar kau mengingatku.”
“Akan kutunggu.” Silvie lekas mengatakannya sebelum lidahnya kelu. “Akan kutunggu kau di sini sampai musim apa pun.”
Zale melepas tangan Silvie di atas meja bar, yang terasa lebih berat dibandingkan saat dia memegangnya. Mengantarnya pergi kali ini memberi Silvie kesempatan untuk mengiriminya senyum, untuk melambaikan tangan, untuk mendoakan keselamatannya, untuk menatap cahaya di wajahnya dan mengukirnya di ingatan. Kini, mereka terpaut janji. Dan pola daun teh Zale malam ini turut memberinya harapan lebih.
Silvie melempar tumpukan jerami terakhir yang dia dan ayahnya siangi untuk persediaan empat musim ke depan. Sudah di penghujung musim panas biru. Dia menutup pintu gudang, menguncinya, lalu meluncurkan kursi rodanya ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Dibaginya roti dan dipanaskannya sup dalam tungku. Ayahnya masih menjaga kedai, dan mereka akan bertukar tempat saat makan malam sudah siap.
Zale tidak datang. Tidak ada surat, tidak ada prajurit lain yang menyampaikan kabar atau sekadar singgah. Silvie ingin berbaik sangka bahwa itu berarti Zale sedang sibuk, sampai rekan sejawatnya yang berseragam juga tak pernah terlihat lagi di Harviemer sejak musim panas hijau lalu. Kiasan buket bunga dan jangkar masih meneguhkan tekad Silvie, tapi dia tak tahu akan bertahan sampai kapan. Apa Zale terlalu meyakini perkataannya tentang menunggu sampai musim apa pun?
Kenyataannya, musim dingin abu seakan selangkah lebih dekat tanpa kedatangannya.
Ketika Silvie menutup kedai, dia tak langsung mematikan semua lilin dan lampu minyak. Dikeluarkannya lencana kolibri Zale dari saku celemek dan diletakkannya di atas meja bar. Silvie menyiapkan nampan kecil dan tatakan, lalu menyendok daun syrmelia kering ke dalam satu cangkir. Air panas dari teko menguarkan uap ketika dituangkan, yang perlahan mengantar wangi herbal syrmelia ketika tehnya mulai mengembang.
Zale tidak di sini, tapi lencananya masih menyimpan energinya. Silvie menyentuh lambang kolibri itu sebelum menutup cangkir dengan tatakan dan membaliknya. Butiran teh yang terbentuk saat tatakan dilepas berukuran sedang, sehingga apa pun yang terbaca setelah ini bisa akan nyata terjadi, bisa juga terhalang. Ditariknya napas dalam. Apa pun yang dilihatnya nanti, setidaknya pandangannya tak lagi gelap.
Silvie mendelik ke dasar cangkir.
Sekumpulan daun berbaris seperti garis-garis, tapi Silvie meragukan bayangan kandelir lilin yang kerap tertiup angin untuk menentukan apa garis itu jelas atau samar. Garis berarti perjalanan. Zale mungkin terjebak di tengah rutenya jika garis itu samar, entah masalah di kereta kuda, perbekalan, atau kendala lain yang bisa terjadi dalam tiga hari perjalanan. Jika garis-garis ini cukup jelas, barangkali dia sedang mengunjungi adik dan bibinya dulu.
Detak cemas di dadanya memelan. Silvie menelisik lagi.
Jarak antara garis-garis dengan pola selanjutnya cukup dekat tapi bersih, seolah dedaunan kehitaman itu sepakat berkumpul ke seberang. Diputarnya cangkir ke kiri, lalu ke kanan, memastikan penglihatan dan penilaiannya. Dia berhenti.
Sebuah lengkung.
Silvie memundurkan badan, tangannya mengepal menahan getar. Ya, Zale dalam perjalanan, tapi apa itu perjalanan pergi atau pulang? Simbol lengkung menandakan bepergian jauh, baik jiwa atau raganya. Menjauh darinya, menjauh dari janji mereka … lalu mendekat pada arti lengkung lain sebagai latar belakang upacara pernikahan … dengan orang lain?
Zale bukan orang yang seperti itu. Atau Silvie yang terlalu naif?
“Silvie,” suara Ayah memanggilnya dari pintu yang membatasi kedai dan rumah. “Kau masih di sana? Sudah kau bereskan?”
Tatapan Silvie masih terpaku pada lengkung daun teh. “Ya, Ayah.”
“Jangan habiskan minyak kita sia-sia.” Ayah masuk ke dalam kedai, matanya berkeliling. “Besok hari pertama musim gugur jingga. Pergilah membeli gula dan terigu sebanyak yang kita bisa. Ada kabar pemerintah akan merasio bahan-bahan pokok tak lama lagi.”
“Mengapa?” Silvie menoleh. “Siapa yang memberitahu Ayah?”
“Beritanya sudah tersebar. Dan ini hanya berarti satu hal. Kau tahu kapan terakhir Ksagira membatasi suplai penting rakyatnya, Silvie?” Ayah mulai mematikan lampu-lampu minyak. “Saat ibuku masih di gendongan ibunya dan mereka harus mengungsi sementara dari Tavryn. Saat aku lahir, tempat itu sudah tak sama lagi.”
Silvie menjatuhkan cangkir ke meja. Dia mengambilnya—retak merambat di bibir cangkir.
“Tapi kau jangan khawatir. Harviemer dikelilingi hutan, untuk itu kita pindah ke sini. Mereka pasti mengambil area padang terbuka lain. Urusan kita hanya persediaan pangan, karena mereka tak peduli sampai musim apa kita harus memberi makan pasukan kerajaan …. ”
Sampai situ, Silvie tak mendengarkan ayahnya lagi. Satu kata berdentam di telinganya—perang, perang, perang. Mereka mengirim Zale berperang. Apa ini arti sesungguhnya dari daun teh syrmelia yang Silvie baca? Bukan perampok di tengah jalan, bukan rute yang terputus karena bencana alam, bukan wanita lain, tapi bertaruh nyawa di medan pertarungan?
Esoknya, di pasar, riuh yang ayahnya bicarakan terbukti. Semua meributkan pembatasan bahan pokok dan perang yang akan datang: seolah tak cukup menaklukan Lute puluhan tahun lalu, Ksagira memutuskan mengambil alih pulau utara lain. Silvie melalui hari bagai warna-warna yang kabur—memelesat, saling menyatu, tak bermakna. Badannya meraup, memetik, memotong, mengaduk, memutar, mencuci pakaian, memanaskan, menyeduh, menghidang, tapi kepalanya berkata Zale dan perang. Kebunnya subur, siap dipanen, labu dan tomat dan kubis memenuhi gudang, tapi skenario lain menempati bayangan di benaknya.
Dia berharap kereta kuda Zale sedang beristirahat.
Dia menganggap arus sungai yang akan dilewati terlalu deras.
Dia membayangkan seorang gadis dengan dua kaki yang berfungsi menunggunya pulang.
Bukan perang, bukan perang, bukan perang.
Karena itu artinya Zale hidup, dan hanya itu yang Silvie inginkan. Zale hidup dan bahagia. Silvie juga tak lagi membaca daun teh syrmelia setelahnya, baik untuknya maupun Zale. Bernaung dalam imajinasinya jauh lebih aman.
Dan ketika alun-alun mendadak ramai usai malam puncak musim gugur burgundi yang tanpa perayaan, sekian lamanya dari awal perang pecah, kebingungan menguasai Silvie hingga dia nyaris lupa tujuannya mencari madu dandelion. Apa ini selebrasi yang tertunda atau ada berita perang baru? Kabar yang berputar di antara pengunjung kedai semakin lama semakin sedikit seiring berkurangnya jumlah pelanggan. Penagih pajak tak bekerja, bangsawan tak bepergian dan singgah, berita baik sama langkanya dengan tumbuhan emas.
Silvie merangsek lautan manusia yang berdesakkan di depan papan pengumuman balai kota. Beberapa orang menyenggolnya, tapi lebih banyak yang memberinya jalan. Desas-desus mengitarinya bagai desisan—itu anak tetanggaku, dia yang sering mengantar keju, itu nama keponakanku, keluarganya sudah ikhlas. Jantung Silvie berpacu.
“Apa yang sedang terjadi, Pak?” dia berteriak kepada bapak penjual daging yang dia kenal.
Bapak itu menunduk melihatnya. “Daftar prajurit yang gugur sudah tiba, Nona Rosk.”
Silvie memacu kecepatannya. Saat sudah cukup dekat dengan papan pengumuman, dipindainya baris demi baris sebanyak yang dia mampu. Zale Zale Zale Zale. Tidak ada Zale, tidak ada Zale. Dia berdoa menemui dan tak menemui namanya secara bersamaan.
Satu titik di sudut matanya memaksanya menoleh. Zale Ockhart.
Berapa banyak Zale yang ada di Harviemer atau seluruh Ksagira? Dan yang bermarga Ockhart pasti bukan dia satu-satunya, bukan? Namun, nama itu juga yang dia baca di dada Zale saat terakhir bertemu. Persis seperti itu.
Silvie kesulitan bernapas.
Dia bergegas pulang dalam kalut, menghindari orang-orang yang menanyakan reaksinya dan menawarkan bantuan. Dia hanya ingin sendirian. Lagi pula, bantuan macam apa yang dapat menolong Silvie sekarang? Sihir sekuat apa yang mampu mengembalikan Zale kepadanya?
Air matanya turun terus menerus hingga dia tak sanggup mengendalikan kursi rodanya dan diam sebelum sempat memasuki kedai. Diredamnya isakan dalam tangkupan tangan.
Ketika Silvie menengadah, langit belum terlalu kelam tapi bulan sabit emas sudah memancarkan sinarnya. Lampu minyak dan lilin rumah tetangga perlahan menyala. Seluruh tubuhnya remuk dan dia hanya ingin memeluk dirinya sendiri di sisa malam ini, tapi kedai harus tetap dibuka. Kehidupan harus berjalan, ada atau tidak adanya Zale.
Bagaimana bisa dia menjalani hidup tanpa Zale?
Silvie mendorong kursi rodanya. Angin dingin menerpa rambut, jaket, dan kaus kaki wolnya sampai kehangatan kedai yang begitu akrab menyelimutinya. Dia menyalakan lampu minyak dan kandelir lilin, mencuci cangkir, mengisi teko. Kakinya cacat tapi hidup harus berjalan, maka dia memakai kursi roda. Ibunya wafat tapi hidup harus berjalan, maka dia cepat belajar mengurus diri dan ayahnya. Zale gugur tapi hidup harus berjalan, maka dia membuka kedai.
Seorang tamu datang saat Silvie baru membalik badan dari menaruh cangkir di rak. Tamu itu ambruk. Tanpa pikir panjang Silvie menghampirinya, dadanya bergemuruh jika yang akan dilihatnya adalah wajah yang dia tahu—dan dia rindu. Silvie terperangah.
“Zale?!”
Dia bukan Zale.
Mata cokelat madunya kehilangan cahaya. Rambut gelapnya lusuh ditimpa debu. Garis mukanya kasar, pipinya tirus dan buku-buku jari tangannya kurus. Seragamnya sedikit berbeda di pola dan warna, atau perang dan perjalanan jauh telah mengubahnya. Kakinya lecet dan kotor tanpa alas kaki apa pun.
Silvie memeriksa luka yang tampak. Tidak ada yang dalam atau busuk, tapi sangat mungkin dibiarkan tanpa perawatan berhari-hari. Dia mengambil peti obatnya yang berisi tingtur, salep, alkohol, dan perban, lalu merawat luka Zale sesuai tingkat keparahannya. Zale membiarkannya bekerja tanpa suara, mengangkat kepala dan tangan dan kaki mendekati kursi roda sebisanya, napasnya naik-turun tidak teratur.
Usai membalut luka terakhir, Silvie mengajak Zale ke meja bar dengan menuntunnya berjalan di sisinya. Teh daun syrmelia lekas disajikan. Di seberang, Zale yang duduk membungkuk meraih cangkir, menghirupnya, tersedak sedikit lalu lanjut menenggak besar-besar. Silvie mengisi cangkirnya lagi. Baru saja Silvie melihat namanya di daftar prajurit yang gugur, dan sekarang Zale—atau yang tersisa darinya—di hadapannya, menyesap teh syrmelia hingga pucat terusir dari wajahnya.
Dia nyaris menangis lagi sebelum Zale membuka mulutnya.
“Terima … kasih,” ujarnya terbata. “Ini … rumah …?”
Silvie termangu. “Ini rumah saya,” jawabnya sehalus mungkin. “Saya Silvie Rosk.”
“Silvie …” tatapannya nanar. “Saya …?”
“Zale. Zale Ockhart. Anda Zale Ockhart.”
“Zale. Ya, ya.” Zale mengangguk-angguk. “Aku ingat. Kita … kenal …?”
“Kita pernah bertemu di sini dua kali.” Silvie memelankan intonasi suaranya. “Di musim semi putih dan musim panas hijau. Setelah itu kau kembali ke ibu kota.”
“Aku tidak akan kembali!” Zale berteriak sembari kepalannya memukul meja. Cangkirnya berdenting dan miring. “Persetan raja terkutuk itu! Sudah pongah menyerang hanya untuk menarik kami dalam keadaan compang-camping? Terbakarlah di neraka!”
Silvie menelan ludah. Apa yang sudah dialami Zale sehingga bisa seperti ini? Dia berusaha menahan ketakutannya, tapi raut wajah Zale melembut, sorot matanya seolah bersalah.
“Maafkan aku,” bisiknya. “Kami dibubarkan … mereka—mereka menuntut jiwa-raga kami, tapi setelah sihir kami terkuras, kami ditinggalkan. Aku hanya ingat sampai sana dan—dan aku melihat rekan-rekanku tanpa tahu siapa mereka … melihat diriku di pantulan air dan selalu lupa siapa namaku … aku hanya tahu aku harus pulang ….”
“Ke mana arah rumah bibi dan adikmu?” Silvie bertanya.
Zale berkedip. “Bibi … adik …?”
Efek perang sihir, hanya itu yang tebersit oleh Silvie. Seperti kakinya dan kematian ibunya, sihir yang digunakan terlalu berlebihan berpengaruh pada orang sekitarnya. Zale mengalami dampaknya … dan jika ibunya mendapat konsekuensi tak langsung yang besar hanya dari residunya, apa yang akan terjadi kepada Zale setelah ini, yang bertarung di depan muka?
Air matanya berhasil jatuh. Setelah ingatannya, lalu akalnya, apa diri Zale juga akan hilang?
“To-tolong, jangan menangis.” Jemari Zale yang diperban meraih pipi Silvie, mengusapnya. “Maaf aku mengingat rumahmu sebagai rumahku. Terima kasih banyak. Aku akan pergi.”
“Tinggallah,” cegah Silvie. “Lukamu belum pulih benar.”
“Tidak bisa, aku akan merepotkanmu. Aku sudah rusak.”
“Kau bukan barang.” Silvie mengelap wajahnya yang basah. Sekuat-kuatnya dia ingin berkubang dalam kemurungan, dia tetap harus berbuat sesuatu. “Dulu, belum ada tabib yang cukup hebat untuk menyelamatkan ibuku. Sekarang kita punya dokter. Kau bisa tidur di kursi panjang kedai setelah kami tutup, dan lakukan sebisamu untuk membuat harimu di sini lebih mudah. Lalu, kita temui dokter beberapa hari lagi. Kita cari tahu apa yang terjadi kepadamu.”
Zale memandanginya patuh. “Ba-baik.”
Silvie keluar dari meja bar untuk menuju kursi kecil di sudut. “Sementara kedai buka, kau bisa menunggu di sini. Akan kuhangatkan sup labu untukmu. Setelah itu, beristirahatlah.”
Zale mengikutinya ke kursi yang ditunjuk. Dia berdeham beberapa kali, duduk, lalu memeriksa saku-sakunya dan mengeluarkan apa pun dari sana. Koin, pecahan logam, lembaran kertas bercap resmi. “Aku memanipulasi logam … hanya ini yang kupunya—”
“Simpan saja.” Silvie menyentuh tangannya. “Masih ada hari esok.”
Senyum Zale mengingatkannya akan kali pertama bertemu. Cangkir teh syrmelia di tangan, bertanya berapa dia harus membayar. “Kau … tak tahu betapa berharganya bantuanmu ini.”
Silvie menunduk, menyembunyikan keterkejutannya. Jika kata-kata yang sama bisa kembali terucap, apa keadaan Zale yang dulu juga bisa kembali berlaku? Dia mohon permisi sebelum meninggalkan Zale di kursinya.
Ditahannya segala kecamuk dalam hati dengan menyibukkan diri, meski sedikit tamu yang datang dan akhirnya tutup cepat. Mengelap, menyimpan, menyeduh, ulangi lagi. Zale melahap sup labunya, yang sedikit membuat Silvie lega. Ayahnya yang segera diberitahu menyetujui Zale tinggal sementara dan tak berkomentar apa-apa lagi. Pelanggan yang bertanya hanya Silvie jelaskan bahwa Zale seorang prajurit tersesat.
Zale mengembalikan mangkuk dengan senyuman lagi dan mata yang lebih sayu. Silvie menunggunya tidur, dan setelah semua sinar dimatikan, dia pergi ke kamarnya.
Kini tinggal dirinya dan kegelapan. Belum masuk musim bersalju, tapi hari sudah terasa sangat panjang. Silvie menggeser tubuhnya keluar dari kursi roda lalu meringkuk di dipannya, berharap apa pun yang menimpanya hari ini lenyap secepat tiupan angin pada api lilin. Masa-masa menanti Zale, ketidakpastian yang melingkupinya, pertanda lengkung yang sampai sekarang masih menghantuinya, nama di papan pengumuman … kepala dan dadanya begitu berat hingga kantuk enggan menghampirinya.
Silvie memeluk lutut, membiarkan wajahnya terbenam dalam malam yang beku dan isak tangis yang baru berhenti usai lama terlelap.
Musim dingin abu membawa suhu udara yang menurun tajam, ancaman badai, jalanan es yang licin, dan kesiagaan setiap rumah untuk mempersiapkan yang terburuk. Namun, kali ini ia juga membawa Zale, yang memanggul kayu bakar yang dia dan ayah Silvie tebang lalu kumpulkan, kemudian menyimpannya di gudang dan dapur. Silvie mengeratkan jaket wolnya sembari memandangi Zale yang berbincang dengan Ayah dari taman belakang. Dia hidup, dan dia sini. Mungkin itu saja sudah cukup.
Akan tetapi, sudah dua pekan Zale belum mengingat hal selain kedai Silvie dan nama-nama mereka. Memori sebelum perang seakan tak berjejak apa pun di otaknya. Silvie hendak menghampirinya ketika Zale menyadari keberadaannya lalu berlari kecil menuju posisinya. Kebun Silvie di sisi mereka sudah ditutupi selapis salju keabuan, polos tanpa dedaunan.
“Syukurlah masih ada matahari pagi ini,” kata Zale, senyumnya lebar.
Silvie menatap Zale yang berwajah bersih, sebagian besar lukanya sudah menutup, dan memakai kemeja serta rompi ayahnya di bawah jaket seragamnya. Setelah semua yang Zale lalui, dia masih bisa tersenyum. Silvie mengangguk, “Ya. Hari ini cukup indah.”
“Oh, aku sudah membetulkan engsel longgar di perangkat dapurmu. Kini kau bisa lebih mudah menuangkan air.“ Zale memalingkan wajahnya ke arah kebun, terutama pada penyangga alat yang memudahkan Silvie merawat tanamannya tanpa harus keluar kursi roda. “Aku tak bisa berhenti kagum melihat perangkat kreasi Tuan Rosk. Semua kayu yang saling terhubung sempurna … aku sangat senang ayahmu membiarkanku membantunya, bahkan mengajariku cara kerja di rumah ini. Sihir logamku jadi sedikit berguna lagi.”
“Kau juga pernah memperbaiki kursi rodaku dengan kemampuanmu.”
“Sungguh?” mata Zale bergerak-gerak seolah sedang mengais ingatannya, lalu terpejam. Dia menoleh kepada Silvie dan menggeleng. “Maaf, Silvie. Aku tidak tahu.”
Silvie membasahi bibirnya. Didorongnya kursi roda lebih mendekat. “Kau ingat dokter pengguna sihir herbal yang kubicarakan? Aku berhasil membuat jadwal temu untuk sore nanti. Sebelum kedai buka, mari kita ke sana. Semoga keadaanmu akan membaik setelah ini.”
“Oh, tentu, ya, baiklah.” Jawaban Zale patah-patah. “Maksudku, tentu saja. Aku ingin mengingat lagi seperti waktu kita bertemu dulu.”
“Kudengar beberapa pasiennya bisa sembuh total dari efek sihir. Kita usahakan tepat waktu.”
“Pasti.” Zale tersenyum tipis. “Apa pun untuk membalas kemurahan hatimu.”
Silvie lekas berbalik, membuang muka. Apa dia terlalu keras kepada Zale? Namun, setiap kali Zale mengaku tidak ingat, kata-katanya justru menyiratkan sesuatu dari kenangan mereka, dan ini mengacaukan perasaannya. Dihelanya napas frustrasi saat Zale dirasa sudah jauh.
Mereka berangkat menuju kediaman Tuan Pascale, sang dokter, pada petang tepat saat hujan salju ringan turun. Memasuki rumah batanya bagai melintasi musim lain—deretan botol kaca besar maupun kecil menutupi sebagian besar dinding, berisi warna dari alam dan menguarkan aroma tanah selepas hujan. Perabotannya sebatas kursi kecil dan sebuah ranjang besi. Meja-meja memuat buku dan kertas, peralatan medis, sampai alat penyeduh. Andai daun syrmelia memiliki sifat penyembuh atau Silvie seorang pengguna sihir herbal alih-alih pembaca daun teh saja … tapi Zale telah berada di tangan yang tepat dan dia tak boleh menyia-nyiakannya.
Tuan Pascale memeriksa Zale yang duduk di ranjang. Tangannya cekatan menggunakan alat hingga ramuan racikan, perawakannya yang sederhana tenggelam dalam jas dan jubah. Silvie menautkan jemarinya yang bersarung tangan di pangkuan, beberapa keping salju masih menempel di wolnya lalu mencair. Warna-warni kilau cairan mengitari kepala Zale saat Tuan Pascale menoleh kepada Silvie.
“Sudah berapa lama prajurit ini tersesat?” tanyanya.
“Sejak puncak musim gugur burgundi,” jawab Silvie.
“Dia mengingat namamu dan namanya, tapi tidak hubungan kalian?”
Kata ‘hubungan’ meronakan wajah Silvie seketika. “Dia salah satu pelanggan kedai teh saya sebelum bergabung pasukan kerajaan. Dia hanya tahu nama kami setelah saya beritahu.”
Tuan Pascale mengembalikan ramuan yang melayang ke dalam botolnya, meninggalkan serpih kerlip yang perlahan pudar. Dilihatnya Zale sekilas sebelum kembali ke Silvie. “Pasien yang pulih cepat dengan metode ini kebanyakan dari kalangan Count yang mabuk sehabis pesta atau Baron yang ditipu saat transaksi. Saya sudah coba menaikkan dosisnya, tapi efek ini sudah terlalu lama mengendap di tubuhnya. Saya juga memakai tanaman langka yang biasa digunakan untuk mengobati luka operasi. Mungkin dokter terbaik di kota Yakt pun belum punya ramuan atau cara untuk sekadar mengikisnya.”
Bahu Silvie merosot. Setelah semua kehebatan itu … hanya ini hasilnya?
Tuan Pascale menahan pandangan simpatinya kepada Silvie sebelum melanjutkan, “Meski begitu, perawatan tetap berjalan. Ganti perban dan oleskan salep setiap hari, latih ingatannya dengan menunjukkan hal-hal yang dia lupakan. Dorong dia untuk menggunakan sihirnya pada sesuatu yang jauh kaitannya dengan perang. Itu akan sangat membantu.”
Mereka pulang menggunakan kereta gerobak yang sama saat pergi, tawaran dari seorang tetangga yang baik hati. Salju telah berhenti. Di kedai, pikiran Silvie benang kusut yang menjerat rutinitasnya—pasti ada dokter lain di tengah menjerang air, obat yang diberikan pasti bukan hanya untuk luka di kulit saat menuang teh, apa Tuan Pascale mau memberinya alamat dokter di Yakt pada awal musim dingin kuning kala mengantar cangkir dan teko, kalimat panjang berseling kalimat pendek, menghitung pemasukan dan tabungan, sampai semua huruf dan angka berkelindan lalu mengarah pada tanda tanya.
Mengapa?
Kapan?
Bagaimana?
Pasti masih ada cara. Namun, apa?
Ketika pengunjung terakhir keluar, Zale sigap menutup pintu dan membersihkan meja-meja. Silvie tersentak—ya, ada satu jalan. Cangkir, nampan, tatakan. Diseduhnya teh syrmelia dan tanpa sadar mengeluarkan lencana kolibri Zale dari saku celemek. Batinnya berdebat apa sebaiknya dia memberitahu ini kepada Zale, tapi semua cahaya kecuali di dekat meja bar telah Zale padamkan. Silvie menyentuh dingin lencananya.
“Kau sedang apa?”
Suara Zale melepaskan sentuhan Silvie, napasnya tercekat. Pandangannya tertuju ke arah kursi panjang tempat Zale duduk. “Kau mengagetkanku. Kupikir kau hendak tidur.”
“Aku tidak pernah tidur,” akunya. “Sejak perang, aku hanya bisa memejamkan mata, bukan tertidur. Jika aku mengganggu, aku akan keluar dan menunggu sampai kau selesai.”
Silvie menggeleng. Tangannya bergestur agar Zale mendekat. “Kemarilah.”
Dia menurut, datang dari gelap ke sumber cahaya. Alisnya terangkat melihat benda-benda di meja bar. “Ini … lencana kolibri pemula? Apa aku yang memberikannya kepadamu?”
Alih-alih menjawab, Silvie justru mengutarakan niatnya. “Aku ingin membaca daun tehmu.”
Berbeda dari awal bertemu, Zale lebih banyak diam dan mengangguk saat diarahkan. Namun, binar di matanya serupa. Gumaman ‘wow’ terlontar darinya saat gelembung teh menari di udara, dan ketika mereka menilik dasar cangkir, Zale bergeming sementara Silvie mendesah.
Di sebelah kiri, bentuk kelelawar hitam menjelma; kesia-siaan. Di sebelah kanan, lengkung.
“Bagaimana bisa bentuk yang sama hadir dua kali?” ucapnya bergetar marah.
Zale mengangsurkan tubuhnya. “Tapi yang terpenting usaha kita, bukan? Ramalan buruk tak akan terjadi jika kita bekerja lebih keras, dan itu yang utama?”
“Lalu sampai kapan aku terus membiarkanmu seperti ini?” bentak Silvie tajam. “Melihatmu terluka, melupakan bagian hidupmu yang penting, meringkuk dalam sakit kepala dan sulit terlelap? Kau mungkin mengira tidak ada yang tahu kau sering membenturkan kepalamu ke dinding saat sepi. Atau menutupi lamunan dan tawa tidak jelas dengan kesibukan. Tapi ini rumahku, dan aku kenal tiap sudut dan bunyinya. Aku tak sanggup membayangkan mereka menjauhi dan mengejekmu seumur hidup.” Panas air mata menggenangi matanya, suaranya bertambah serak. “Aku tahu rasanya. Maka, cukup aku saja yang merasakan.”
Seiring pandangannya jatuh ke pangkuan lalu kakinya, bayangan masa kecilnya terbayang lagi di depannya. Membaca daun teh menjadi harapannya yang magis—ranting kayu untuk kesehatan, kupu-kupu untuk kebahagiaan, kunci untuk bisnis yang maju, perahu untuk teman. Walau tak semua terwujud dan kesialan selalu menemukan jalannya, dan hinaan lambat laun berubah menjadi kasihan, Silvie menemukan bahagianya di sana. Kemudian, Zale hadir dan membagikan antusiasme yang sama, memerlukannya dan senantiasa menghargainya. Dialah kelincinya, buket bunganya, sapunya, jangkarnya.
Silvie meraih wajah Zale dengan tangan kanannya. Ibu jarinya mengelus tulang pipi Zale.
“Kau sudah sangat baik kepadaku, seorang pelayan kedai teh berkursi roda,” ujarnya. “Alasan kita baru bisa mengunjungi dokter hari ini karena aku harus mendapat jadwal temu lewat Baroness Lolla, dan sebagai gantinya aku membaca daun teh di ulang tahunnya minggu kemarin. Mereka tahu mengapa aku meminta tolong dicarikan dokter terbaik, dan mereka membicarakannya di pesta, mengatakan hal yang tidak benar tentangmu … bahwa tak mungkin ada jalan keluar untuk orang tak berdaya seperti kita ….”
Zale menangkup tangan Silvie di pipinya. Tatapan lembut itu kembali, seakan dia tak pernah melewati semua ini. “Aku sudah menduga alasanku mengingat kedaimu sebagai rumahku karena kau orang yang berharga untukku, meski aku tak menyadarinya.”
Silvie menutup mata, tangisan sunyinya bergulir.
“Kau sudah sempurna, Silvie.” Zale mengarahkan telapak tangan Silvie mendekati bibirnya. “Matamu, kepangan rambutmu, bakatmu, kebaikan hatimu. Aku tidak butuh pendapat orang lain asalkan kau mau menerimaku. Kalaupun aku mengingat bagaimana kehidupanku sebelumnya … aku yakin kehidupanku saat ini lebih baik. Tapi aku paham aku yang sekarang terlalu banyak kekurangannya. Aku juga tak ingin mempermalukanmu.”
Pangkal telapak Silvie kini berdiam di bibir Zale, embusan napasnya membelai jemari. Bayangan terbentuk di bawah mata pemuda itu, bergerak pelan mengikuti ayunan pelita.
“Terima kasih untuk kesabaranmu,” tuturnya, “juga segala pertolonganmu. Izinkan aku bersamamu selama beberapa saat, sampai aku bisa mengingat bibi dan adikku. Tapi jika memori itu tidak kunjung kembali, aku akan coba mencari mereka di musim dingin kuning nanti saat salju mencair dan angin tak seberapa ganas lagi. Setelah itu, jangan cemaskan aku. Bertemu denganmu sekarang sudah menguatkanku.”
“Ja—” suara Silvie tersendat. “Jangan—”
Jangan pergi, jangan pergi, jangan pergi. Mengapa sulit sekali terucap? Namun, sudah terlambat. Keputusasaan Silvie sendiri yang mendorong Zale menjauh.
“Ya.” Silvie menarik tangannya, begitu berat. “Baiklah.”
Zale membuka mulut seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang terutarakan. Dia tersenyum lagi, lebih lemah dan rapuh. Silvie merapikan meja bar lalu memadamkan cahaya terakhir, dan sebelum meninggalkan kegelapan kedai, dia menoleh ke balik bahunya.
“Maafkan aku.” Silvie menggumam.
Zale menggeleng di kejauhan. “Tidak. Maafkan aku.”
Silvie menghitung waktu dari kunjungan ke dokter sampai Zale mengingat atau memutuskan untuk mengunjungi bibi dan adiknya. Tiap malam berganti dan fajar menggertak sebentar lagi, satu kerikil akan mengisi hatinya, hari demi hari demi hari.
Dan ketika mendung itu sedikit terabaikan, Silvie bertekad meluangkan sekecil apa pun kesempatan untuk berada di dekat Zale. Diturutinya nasihat Tuan Pascale terlepas dari hasil pemeriksaannya saat itu: dia mengajak Zale menghias vas dengan bunga-bunga logam dan membuatkannya jepit rambut berbentuk daun syrmelia, lebih indah dari perkiraannya. Dia membimbing Zale menghafal benda atau kegiatan yang belum dikuasai Zale lagi di samping ayahnya. Dia mengganti perban hingga Zale tak membutuhkannya lagi, mengoleskan salep dari Tuan Pascale setiap hari sampai habis.
Dia juga merekam tiap jengkal figur Zale dalam ingatannya. Senyuman yang ikut memancing senyumya, tawa yang mengingatkannya akan recik sungai, punggung bidang yang membelakanginya saat membantu membersihkan rak, kerut di antara alis saat sedang berpikir, tangan yang memegang tangan Silvie saat mereka berjalan atau menepuknya saat bermain-main, mata cokelat madu dan bulu matanya, rambut gelap yang kini dipangkas pendek oleh ayah Silvie dan selalu disisir rapi.
Suatu saat, itu akan jadi kenangan yang mungkin tak bisa Silvie raih, efek sihir atau bukan.
Zale sedang menangani kebun yang tanahnya baru menampak lagi di belakang sementara Silvie merenung di depan kedai usai sarapan. Musim dingin kuning akan segera berakhir. Dia berharap Zale lupa—atau sengaja melupakannya—dan memilih tinggal. Akan tetapi, bagaimanapun juga, Zale berhak menemui keluarganya. Silvie tak bisa sembarang menahannya, terutama setelah apa yang dia lakukan dan katakan.
“Sudah tumbuh pucuk daun?”
Zale menghampiri Silvie, pandangannya mengikuti arah wajah Silvie yang menengadah. Silvie tak memperhatikan apa pun dari pohon gundul di depannya. “Ah, ya. Sepertinya.”
“Kebunmu sudah siap. Musim depan, kau bisa menanam daun syrmelia kembali.” Jempolnya mengarah ke belakang rumah, posenya percaya diri. “Kau juga menyimpan benih tulip dan primrose, bukan? Nanti kau sudah bisa mulai menanamnya.”
Silvie menengok kepadanya. “Terima kasih.”
Zale tersenyum, lalu berlalu ke dalam kedai.
Dia keluar lagi tak lama kemudian, tapi perasaan Silvie mendadak semuram langit berhujan petir. Ditiliknya ke dalam dan didapatinya kursi panjang tempat Zale tidur sudah bersih dari jerami. Silvie lekas mencegat jalannya, menatapnya nanar.
Zale membalas dengan sorot mata halusnya. “Aku pergi mencari adik dan bibiku hari ini.”
Silvie menyambar, “Kau sudah mengingat mereka?”
“Belum.” Dia mengesah. “Tapi karena itu aku harus berangkat. Cuaca sudah lebih bersahabat dan jalanan sudah lebih aman dilalui. Sudah saatnya aku melakukannya.”
Langkah Zale yang berderik dari sepatu botnya melumpuhkan indra Silvie sejenak. Silvie cepat berputar, mulutnya menyerukan ide pertama di benaknya. “Biarkan aku mengantarmu. Setidaknya sampai kau mendapat tumpangan. Tak banyak kereta dan gerobak di waktu seperti ini dan kau bisa bosan menunggu jika sendirian.”
Zale langsung menyetujuinya. “Aku senang kau mau menemaniku.”
Silvie pernah menceritakan ulang yang Zale katakan tentang keluarga dan tempat tinggalnya. Selama mereka menyusuri jalan tanah dan bebatuan, Zale bertanya dan memastikan lagi apa yang dia ingat sudah benar, dan Silvie menanggapinya. Jika saja tanya-jawab ini berlaku lebih lama … meski Silvie tahu akan ada waktunya dia harus menerima akhir ini.
Namun, mengapa rasanya seperih membaca nama Zale di daftar prajurit gugur tempo lalu?
Sebuah kereta gerobak terparkir di dekat alun-alun, tetesan air di belakangnya menandakan muatan balok es yang sebelumnya dibawa. Silvie menghampiri seorang pria yang duduk di kursi kemudinya, tapi pria itu melihat Zale lebih dulu.
“Permisi,” sapa Zale yang sadar sedang diperhatikan. “Apa Anda—”
“Zale?” pria itu turun dari kursinya. “Kaukah itu? Zale Ockhart? Kau selamat?”
Raut muka Zale kosong sesaat sebelum dia tersenyum. Pria itu mendekatinya, memindainya dari atas, ke bawah, lalu ke atas lagi. Ekspresinya berubah-ubah dari terkejut ke bingung, antara turut menyesal dan lega. Dia berhenti memandang ketika Zale tak menjawab apa-apa selain menatapnya balik dalam diam.
“Demi Tuhan dan seisi langit,” katanya lirih. “Prajurit gila di Harviemer itu dirimu.”
“Anda tidak bisa seenaknya bicara.” Silvie maju, ujarannya tegas.
Pria itu mengangkat tangannya ke depan dada. “Maaf, Nona, jika kata-kataku kelewatan. Tapi aku sungguh tak menyangka kau masih hidup, Zale. Namamu ada di papan balai kota, semua mengira kau mati, bibimu meratapi berhari-hari sampai dia membawa adikmu pergi dari—”
“Mereka pergi?” suara Zale naik dan parau.
“Ya, pindah ke entah desa mana. Aku hanya melihat rumah kalian sudah kosong. Jadi, kau lupa siapa aku? Dulu kita biasa bermain perang ketapel di lapangan—”
Zale membalik badan, langkahnya berderap terlalu cepat. Silvie memanggil-manggil namanya, berusaha menyesuaikan lajunya agar tak kehilangan sosoknya. Zale ternyata kembali ke kedai, membuka pintunya, masuk dan tak tampak lagi. Silvie meluncur sembari terengah-engah, lalu berhenti untuk mengambil napas sejenak sebelum menyusul ke dalam.
Zale berlutut. Tubuhnya menggulung. Kedua tangannya merangkup wajah, punggungnya bergetar naik-turun, sedu sedannya tertahan.
Sejak Zale kembali, dia tak pernah kelihatan menangis. Dia mungkin tak tidur, berteriak tiba-tiba, tampak sedih jika Silvie menunjukkan sesuatu yang tak dia ingat atau berpikir terlalu keras saat mengulangi hal yang sama, tapi tidak pernah berpancaran air mata. Perlahan, Silvie bergerak ke sisinya. Hatinya ikut patah, dadanya mencelus sesak, tapi Zale membutuhkannya.
“Aku orang yang gagal.” Ucapan Zale nyaris terpendam isaknya. “Tak ada keluarga, tak ada pekerjaan. Tak ada teman, tak ada—” kepalanya sedikit terangkat. “—tak ada yang percaya aku masih hidup. Tak ada yang percaya aku waras. Tak ada tujuan.”
“Itu tidak benar.” Silvie segera menukasnya. “Kuharap kau tak melupakanku.”
“Tapi aku hanya akan menyusahkanmu jika terus berada di sini! Peduli setan orang berkata apa tentangku, tapi bagaimana jika kau yang akan terus mereka hina?” Matanya basah dan memerah. “Dan aku kurang cukup untuk mereka takuti? Lalu siapa yang akan melindungimu? Mau jadi apa aku jika tidak bisa melindungimu?”
Zale menarik napas berat, tiap helaan menaikkan dada dan bahunya. Silvie meletakkan tangannya di bahu itu, kemudian naik ke tengkuk, lalu mengantar kepala Zale bersandar di ceruk lehernya. Wangi semir rambut dan sabun mengelilingi Silvie sembari dia menopangkan dagunya di puncak kepala Zale, helai rambut gelapnya mengisi sela-sela jari Silvie.
“Aku tidak ingin kau pergi.” Silvie menekankan kata-katanya satu per satu. “Aku ingin kau selalu di sampingku. Seperti ini. Hanya kita. Tidak ada yang lain.”
Zale mengangkat wajah hingga matanya menemui mata Silvie. Silvie menyugar rambutnya.
“Kita melalui musim terburuk dalam keadaan terpuruk, dan kita bertahan. Kau meyakinkanku bahwa perasaan kita tetap sama apa pun yang terjadi. Sebelum perang, setelah perang, kau selalu kembali ke sini. Aku sadar, tak ada yang lain yang kuinginkan selain hidup ini.”
Silvie mengecup keningnya. Jika ini bukan Zale, tidak mungkin keberanian ini tumbuh dan memberinya harapan. Sisa musim dingin abu dan kuning bersamanya hanya bisa digantikan dengan kebersamaan yang lebih banyak lagi.
Zale tergugu, matanya terpejam. Dilingkarkannya tangan ke punggung Silvie dan ditariknya ke pelukan. Tangan Silvie mengait di belakang lehernya, kepalanya bertumpu ke pundak. Degup jantung keduanya saling membalap, deru napas menyatu di ruang antara mereka.
“Kau ingat yang kuceritakan, apa yang kau katakan kepadaku pertama kali?” bisik Silvie.
Zale mengembuskan tawa kecilnya. “Aku ingat. Aku meminta tolong kepadamu, bukan?”
Silvie tersenyum. “Kini, maukah kau mengatakannya lagi?”
Mereka melepas peluk bersamaan, lalu Zale bangkit dan menemani Silvie menuju meja bar. Silvie menyiapkan peralatan menyeduh teh syrmelia seperti biasa. Zale meminum setengah teh dari cangkir yang diberikan Silvie, menunggu keajaiban yang Silvie ciptakan, satu-satunya, tiada gantinya. Bulir-bulir merah-jingga keemasan teh membentuk bulatan sedang yang lebih besar dari terakhir daun syrmelia Zale dibacakan.
“Tidak semua hasil akan sesuai keinginan kita.” Silvie mengingatkan.
Zale mengangguk. “Jika hasilnya buruk, yang terpenting usaha kita.”
“Hasil baik juga tetap bergantung pada usaha dalam meraih mimpi itu.”
“Dan hasil buruk untuk mempersiapkan langkah selanjutnya. Aku percaya kemampuanmu.”
Gerimis teh syrmelia jatuh ke dalam nampan, menyisihkan daun teh kehitaman yang membentuk pola kiasan. Di satu sisi, titik-titik bersatu membentuk gambar hati, membuat Silvie dan Zale berbalas tatap dan terkekeh. Maknanya cukup jelas.
“Tapi, simbol satunya masih lengkung,” terang Silvie, senyumnya melemah.
Zale mendelik lebih dekat. “Waktu itu, apa katamu soal lengkung? Seburuk itukah?”
“Aku pernah membaca daun tehmu saat kau masih bertugas … menggunakan lencana kolibrimu. Kupikir saat itu artinya bepergian yang jauh, dan kau tak akan kembali.”
“Kemudian kau membacakan lagi yang hasilnya juga lengkung setelah dari dokter, bukan? Kurasa bukan seperti ini bentuknya. Lekukannya beda.”
“Maksudmu … ini bukan lengkung?”
“Ya, ini lebih seperti …” Zale menggumam. “Bulan, bulan sabit.”
Rasanya seolah mentari musim semi putih menyinarinya di muka, membangunkannya seketika. Silvie membalik posisi cangkir sehingga dapat melihatnya dari arah pandang Zale. Selain lekukan yang lebih bulat, bagian tengahnya pun lebih tebal, tidak seperti huruf U sempurna atau tapal kuda. Kehangatan selain teh seakan terpancar dari dasar cangkir.
“Bulan sabit. Benda langit. Kebahagiaan sejati.” Silvie mengartikannya.
Mereka berdua tertawa, saling menyandarkan dahi, lalu Zale berdiri dan menghampiri Silvie di balik meja bar. Silvie menyambut dekapannya, merasakan dunia lebih besar, lebih luas, dan lebih menakjubkan ketika Zale datang dan bersanding di sisinya.
No comments:
Post a Comment